JAKARTA, Sejarawan asal Belgia, David Van Reybrouck, menilai Konferensi Asia-Afrika (KAA) Bandung 1955 sebagai momentum monumental yang menjadikan Indonesia pusat inspirasi gerakan kemerdekaan dunia.
Menurutnya, gagasan besar Presiden Soekarno dalam menyelenggarakan konferensi tersebut bukan sekadar agenda diplomatik, melainkan lompatan sejarah dalam perjuangan global melawan kolonialisme.
“Soekarno berkata, jika hanya lima negara yang bertemu, itu seperti klub hobi. Kita harus melakukannya dengan lebih besar dan menginspirasi seluruh dunia,” ujar Van Reybrouck dalam kuliah umum bertajuk “Sukarno and The Making of The News World” di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Rabu (22/10).
Van Reybrouck, penulis buku Revolusi, menjelaskan bahwa pada awalnya KAA dirancang dengan skala kecil, hanya melibatkan beberapa negara bekas koloni Inggris dan Indonesia.
Namun, Soekarno mengubah arah konferensi itu menjadi panggung global bagi solidaritas Asia dan Afrika, sebuah langkah yang kemudian menandai lahirnya “suara Selatan” di panggung politik dunia.
“Itu benar-benar ide Soekarno , menjadikan Bandung panggung dunia bagi bangsa-bangsa yang baru merdeka,” tegasnya.
Dalam pandangan Van Reybrouck, Soekarno memiliki visi unik tentang Indonesia. Ia melihat negeri ini sebagai miniatur Asia dan Afrika, penuh keberagaman, namun bersatu dalam cita-cita kemerdekaan.
“Dalam pidato pembukaannya, Soekarno mengatakan Indonesia adalah Asia-Afrika dalam versi kecil. Kita memiliki keragaman bahasa, budaya, dan agama, tapi mampu berjuang bersama untuk berdikari,” tutur Van Reybrouck.
Menurut Van Reybrouck, semangat Bandung kemudian menjadi template perjuangan kemerdekaan di banyak negara Afrika.
Hanya lima tahun setelah konferensi itu, puluhan negara di Afrika meraih kemerdekaan, menandakan kuatnya gelombang dekolonisasi yang diinspirasi dari Indonesia.
“Indonesia memberi contoh bahwa kebebasan harus total, tidak sebagian wilayah atau sebagian kekuasaan. Itulah model kemerdekaan penuh yang diikuti banyak negara lain,” jelasnya.
Van Reybrouck menegaskan, Konferensi Bandung bukan sekadar peristiwa diplomatik, tetapi titik balik dunia pascakolonial.
Dalam pandangannya, Soekarno mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak berhenti pada mengusir penjajah, melainkan melanjutkan perjuangan untuk membangun tatanan dunia yang setara dan berkeadilan.
“Soekarno mengajarkan bahwa kemerdekaan tidak hanya soal mengusir penjajah, tapi tentang bagaimana bangsa-bangsa membangun dunia yang setara,” ujarnya.
Acara tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional dan perwakilan diplomatik.
Turut hadir Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno, sejumlah anggota DPR RI Fraksi PDIP, serta para tokoh budaya dan sejarah seperti Bonnie Triyana, Gunawan Mohamad, Wardiman Djojonegoro, Halidah Hatta, dan Sukmawati Soekarnoputri.
Hadir pula Duta Besar Belanda dan Belgia yang memberikan warna diplomatik dalam perhelatan tersebut.
Van Reybrouck mengingatkan bahwa perjuangan melawan ketimpangan global masih berlanjut, dan semangat solidaritas Asia-Afrika yang dicetuskan Soekarno tetap menjadi inspirasi bagi dunia yang sedang mencari keseimbangan baru.
“Bandung mengajarkan kita bahwa dunia yang adil harus dibangun bersama, bukan oleh segelintir bangsa yang kuat, tetapi oleh semua bangsa yang ingin merdeka,” tutupnya.







