Oleh: Hasan Ashari
Mahasiswa Program Doktoral Perbanas Institute
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah lama menjadi fondasi perekonomian Indonesia. Kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 61 persen, dan sektor ini menyerap hingga 97 persen tenaga kerja nasional. Namun, di balik peran strategis itu, akses pembiayaan formal bagi UMKM masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung tuntas.
Selama ini, perbankan mengandalkan prinsip 5C—Character, Capacity, Capital, Collateral, dan Conditions—dalam menilai kelayakan kredit. Meskipun logis dari sudut pandang kehati-hatian, tapi ternyata pendekatan ini terlalu kaku bagi sebagian besar pelaku UMKM yang belum memiliki laporan keuangan baku, agunan memadai, atau riwayat kredit yang baik. Akibatnya, porsi kredit untuk UMKM stagnan di kisaran 20 persen dari total kredit perbankan nasional. Ini jelas mencerminkan ketimpangan akses.
Kabar baiknya, arah kebijakan pemerintah mulai bergeser. Dalam Rapat Kerja Nasional HIPMI pada Agustus 2023, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya sistem credit scoring untuk menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pendekatan ini dinilai lebih ramah bagi pengusaha muda dan UMKM yang belum memiliki aset. Pemerintah bahkan telah menyiapkan uji coba skema pembiayaan KUR berbasis scoring pada awal 2024, menggunakan data transaksi sebagai salah satu pertimbangan utama.
Langkah pemerintah ini patut diacungi jempol. Namun, saya ingin mengusulkan satu gagasan penting: mari kita dorong pengembangan sistem credit scoring yang juga mempertimbangkan dimensi manusiawi dari pelaku UMKM—yakni pola pikir, karakter, dan sikap kewirausahaan pelaku UMKM yang saat ini belum “dilirik” sama sekali oleh perbankan.
Mengapa ini penting? Karena banyak pelaku UMKM yang secara administratif tampak “tidak layak”, padahal dari segi semangat, visi, dan etos kerja sangat menjanjikan. Banyak di antara mereka punya entrepreneurial mindset—kemampuan untuk melihat peluang di tengah keterbatasan, berpikir kreatif, berani mengambil risiko, dan tangguh menghadapi kegagalan. Karakter dan sikap seperti ini tidak bisa tercermin dari angka-angka dalam laporan keuangan, tetapi justru menjadi fondasi penting dalam membangun usaha yang berkelanjutan. Sudah selayaknya hal-hal semacam ini perlu dipertimbangkan oleh perbankan.
Gagasan ini bukan tanpa preseden. Negara-negara lain sudah banyak yang menerapkan. Di India, misalnya, platform seperti CRIF High Mark dan TransUnion CIBIL telah mengembangkan credit scoring berbasis data alternatif untuk UMKM, termasuk dari catatan pembayaran tagihan, perilaku transaksi, hingga data e-commerce. Sementara itu, di Kenya, perusahaan fintech seperti Tala dan Branch menggunakan data dari ponsel pengguna—termasuk pola komunikasi dan kebiasaan pengeluaran—untuk mengukur kelayakan kredit pelaku usaha mikro.
China bahkan lebih maju. Melalui sistem Zhima Credit (Sesame Credit) yang dikembangkan oleh Ant Financial, pelaku UMKM bisa mengakses kredit berdasarkan rekam jejak digital mereka di platform e-commerce seperti Alibaba. Ini memungkinkan pelaku usaha kecil yang belum memiliki riwayat kredit formal tetap bisa mendapatkan pembiayaan.
Kisah sukses negara-negara tersebut menunjukkan bahwa inovasi dalam credit scoring adalah keniscayaan jika kita ingin sistem pembiayaan yang lebih inklusif. Perbankan Indonesia sudah saatnya menoleh ke arah ini. Mengintegrasikan pendekatan tradisional dengan teknologi dan pemahaman sosial-psikologis pelaku UMKM bukan hanya ide idealis, melainkan langkah strategis untuk memperluas basis nasabah dan memperkuat sektor riil.
Tentu, pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan prinsip kehati-hatian dalam perbankan. Justru sebaliknya, ini adalah cara untuk melihat kelayakan UMKM secara lebih utuh dan adil. Sebab sejauh ini, terlalu banyak potensi yang tertahan hanya karena sistem penilaian yang tak mampu membaca sisi manusia di balik angka.
Namun satu hal yang tak boleh dilupakan adalah pentingnya peningkatan literasi keuangan dan pendampingan berkelanjutan bagi UMKM. Tanpa itu, inovasi dalam pembiayaan bisa gagal mencapai tujuannya. Pemerintah dan perbankan harus bergandengan tangan, tidak hanya dalam menciptakan skema kredit yang lebih inklusif, tetapi juga dalam membangun kapasitas para pelaku usaha kecil agar mereka mampu mengelola pembiayaan dengan bijak.
Dengan kondisi perekonomian saat ini, UMKM akan terus dan tetap menjadi tulang punggung perekonomian di negara ini. Tapi tentu perlu kita renungi bahwa UMKM tidak hanya perlu dana, tapi juga butuh kepercayaan. Sudah waktunya kita menilai mereka bukan hanya dari apa yang mereka punya, tetapi juga dari siapa mereka sebenarnya dan apa yang bisa mereka capai!