JAKARTA, Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Trimedya Panjaitan menegaskan kembali pentingnya konsolidasi dan solidaritas internal dalam tubuh organisasi advokat tersebut. Hal itu disampaikannya saat membuka Sarasehan Serikat Pengacara Indonesia bertema “Mempererat Solidaritas dan Konsolidasi Organisasi” di Jakarta.
Dalam penggalan sambutannya, Trimedya tak lupa mengajak seluruh anggota SPI untuk ikut merasakan duka masyarakat yang sedang dilanda bencana alam. Ia meminta peserta sarasehan untuk berempati dan mendoakan korban di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.
“Mari kita sejenak berdoa untuk saudara-saudara kita di Sumbar, Sumut dan Aceh yang sedang menghadapi musibah. Semoga mereka diberi kekuatan dan perlindungan,” ujarnya di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, Jumat (28/11/25)
Trimedya menegaskan, SPI harus terus memperkuat kekompakan agar mampu menjawab tuntutan profesi advokat yang semakin kompleks. Menurutnya, konsolidasi organisasi merupakan langkah penting untuk menjaga marwah dan integritas advokat di tengah dinamika penegakan hukum.
Ia juga menyoroti perubahan regulasi hukum yang membawa dampak penting bagi profesi advokat. Trimedya menyampaikan rasa syukurnya karena peran advokat turut diperkuat dalam KUHAP yang baru disahkan.
“Kita patut bersyukur, di KUHAP yang baru ini banyak hal yang memperkuat posisi advokat. Ini menjadi ruang bagi kita untuk bekerja lebih profesional,” tutur Trimedya.
Selain itu, Trimedya menekankan bahwa SPI harus tetap berada di garis depan dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat, terutama kelompok yang rentan terhadap ketidakadilan. Ia menilai advokat memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan tidak diskriminatif.
Serikat Pengacara Indonesia (SPI) resmi berdiri pada 28 Juni 1998 sebagai organisasi profesi yang memperjuangkan penegakan hukum, demokrasi, HAM, dan kesetaraan gender.
SPI berawal dari Solidaritas Pengacara Muda Indonesia (SPMI) yang dirintis pada 1997 setelah pengacara Mohammad Amin JAR ditangkap dan diperlakukan tidak layak saat menjalankan profesinya. Peristiwa itu mendorong para pengacara muda membentuk wadah perjuangan untuk menjaga martabat advokat.
Dalam Kongres I di Sukabumi pada 1998, nama SPMI berubah menjadi SPI. Perubahan ini terinspirasi dari “pelesetan” yang dibuat wartawan Kompas Budiman Tanuredjo, yang menilai perjuangan lebih tepat memakai istilah “serikat” dibanding “solidaritas”, sekaligus menghilangkan kata “muda”.
Kongres kemudian memilih Trimedya Panjaitan sebagai Ketua Umum dan Sugeng Teguh Santoso sebagai Sekretaris Jenderal. Di bawah kepemimpinan ini, SPI berkembang pesat dan membuka cabang di banyak provinsi.
Seiring waktu, SPI menjadi salah satu organisasi advokat yang diperhitungkan dan sejajar dengan organisasi yang lebih tua seperti IKADIN dan AAI. SPI juga menjadi salah satu dari delapan organisasi pendiri PERADI dan namanya tercantum resmi dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 32 ayat (3) dan Pasal 33, yang mengakui SPI sebagai bagian dari organisasi advokat yang menjalankan fungsi profesi secara sah.
Ini menegaskan peran penting SPI dalam sejarah advokat Indonesia. Delapan tahun setelah berdiri, SPI sudah memiliki anggota sekitar 3.000 pengacara. Kemudian sudah dibentuk 21 Dewan Pengurus Daerah (DPD) dan 32 Dewan Pengurus Cabang (DPC).
Hadir juga dalam acara tersebut, Sekjend Syarif Bastaman, pendiri SPI Dwi Ria Lathifa, Sugeng Teguh Santoso, Gusti Randa, wartawan senior Kompas Budiman Tanuredjo dan 163 anggota SPI dari sejumlah Provinsi di Indonesia.







