JAKARTA, Kebijakan pengerahan prajurit TNI untuk menjaga kompleks Kejaksaan Agung (Kejagung), Kejaksaan Tinggi (Kejati), dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia memicu kontroversi. Sejumlah pihak, termasuk Indonesia Police Watch (IPW) dan koalisi masyarakat sipil, menilai langkah ini menabrak konstitusi dan mengarah pada militerisme dalam lembaga sipil.
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menyatakan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, Tap MPR VII/2000, serta UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
“Pengerahan prajurit TNI di institusi Kejaksaan melanggar konstitusi karena fungsi pengamanan adalah ranah Polri, bukan TNI,” ujar Sugeng dalam siaran pers, Senin (12/5/2025).
Menanggapi sorotan itu, Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menjelaskan bahwa pengerahan personel TNI hanya terbatas untuk pengamanan aset fisik, seperti gedung dan area kantor, dan bukan dalam konteks penegakan hukum.
“Pelaksanaan tugas jaksa tetap independen. Tidak ada intervensi TNI. Ini murni pengamanan fisik,” tegas Harli, Rabu (14/5/2025).
Harli menambahkan, keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) menjadi dasar koordinasi lebih erat antara TNI dan Kejaksaan, mengingat Kejaksaan juga menangani kasus pidana yang melibatkan militer.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, menegaskan bahwa pengamanan tersebut merupakan bagian dari kerja sama rutin, bukan reaksi terhadap situasi khusus. Ia merujuk pada Telegram Panglima TNI Nomor TR/442/2025 tertanggal 6 Mei 2025, yang merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kejagung.
MoU tersebut, bernomor NK/6/IV/2023/TNI, mencakup delapan poin kerja sama, di antaranya:
- Pendidikan dan pelatihan
- Pertukaran informasi untuk penegakan hukum
- Penugasan prajurit TNI di lingkungan Kejaksaan
- Supervisor jaksa di Oditurat Jenderal TNI
- Bantuan personel TNI dalam pelaksanaan tugas Kejaksaan
- Bantuan hukum TNI bidang Perdata dan TUN
- Pemanfaatan sarana dan prasarana
- Koordinasi teknis dalam perkara koneksitas
“Jumlah personel pun dibatasi 2–3 orang per lokasi, tergantung kebutuhan,” jelas Wahyu.
Menanggapi polemik tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengajak publik melihat sisi positif dari sinergi antarlembaga. Ia menilai kolaborasi TNI dan Polri menunjukkan soliditas yang semakin kuat dalam menjaga stabilitas nasional.
“Yang jelas, sinergitas TNI-Polri semakin oke,” kata Listyo saat ditemui di Kantor Kemenkumham, 14 Mei 2025.
Namun, IPW tetap pada pendiriannya bahwa TNI tak memiliki wewenang untuk pengamanan kantor pemerintahan sipil. Menurut Sugeng, objek vital nasional yang boleh diamankan TNI adalah fasilitas yang menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan kantor pemerintahan seperti Kejaksaan.
“Gedung Kejaksaan bukan objek vital nasional strategis. Penempatan TNI menimbulkan pertanyaan: ada apa dengan Kejaksaan?” tutur Sugeng.
Hingga kini, tak ada pernyataan resmi dari pemerintah mengenai revisi terhadap kebijakan tersebut. Polemik soal konstitusionalitas dan urgensi pengerahan prajurit TNI di institusi Kejaksaan terus mengemuka, terutama terkait garis batas kewenangan antara lembaga pertahanan dan keamanan negara.
Apakah langkah ini wujud penguatan sinergi institusi, atau justru bentuk pelanggaran terhadap prinsip sipil supremasi hukum?