JAKARTA, Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang diterapkan sejak awal tahun 2025 memberikan dampak yang signifikan pada industri perhotelan Indonesia. Survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bekerja sama dengan Horwath HTL mengungkapkan bahwa 83% hotel di Indonesia merasa tidak siap menghadapi tahun fiskal 2025. Survei ini melibatkan 726 responden dari 717 hotel di 30 provinsi di Indonesia.
Menurut laporan hasil survei yang diterima pada Selasa (25/3/2025), pelaku usaha hotel menunjukkan penurunan optimisme yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada November 2024, lebih dari 50% responden masih optimistis bahwa kinerja hotel akan lebih baik dibandingkan tahun 2023. Namun, pada Desember 2024, sentimen ini mulai netral dan pada Januari 2025, sebanyak 83% hotel mengungkapkan mereka tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk memulai tahun fiskal baru.
“Meskipun Januari dikenal sebagai periode transisi bagi pasar Indonesia secara keseluruhan, kinerja hotel relatif lemah menurut mayoritas responden. Sentimen negatif ini mungkin akan terus berlanjut sepanjang tahun, kecuali terjadi perubahan signifikan yang mendorong pergeseran menuju prospek kinerja pasar yang lebih positif,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Industri perhotelan di Indonesia memiliki ketergantungan tinggi pada segmen Meeting, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) serta permintaan dari instansi pemerintah. Namun, kebijakan efisiensi anggaran yang mengurangi perjalanan dinas dan belanja MICE pemerintah telah mengakibatkan penurunan signifikan dalam tingkat hunian hotel dan pemanfaatan ruang pertemuan. Sekitar 42% hotel melaporkan bahwa fasilitas ruang pertemuan mereka menjadi tidak terpakai, sementara 18% mengalami penurunan permintaan pada hari kerja.
Survei juga mencatat bahwa mayoritas hotel kesulitan untuk menaikkan tarif kamar akibat melemahnya permintaan. Akibatnya, kondisi keuangan hotel semakin tertekan.
Dampak kebijakan efisiensi anggaran tidak hanya dirasakan oleh sektor perhotelan, tetapi juga mempengaruhi sektor terkait, seperti pemasok makanan dan minuman, transportasi, dan keuangan. Hasil survei menunjukkan bahwa 88% hotel memprediksi akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menekan biaya operasional, sementara 58% hotel berisiko gagal bayar pinjaman ke bank. Bahkan, 48% hotel mengkhawatirkan potensi penutupan akibat defisit operasional.
Selain itu, 71% responden meyakini bahwa gangguan pada industri perhotelan dapat mengacaukan rantai pasok bisnis mereka. Sebanyak 78% juga memprediksi bahwa target pajak hotel tidak akan tercapai, sehingga meminta intervensi pemerintah untuk mengatasinya.
Mayoritas pelaku usaha hotel khawatir bahwa penurunan sektor perhotelan akan berdampak negatif pada sektor pariwisata dan perekonomian daerah yang sangat bergantung pada industri ini. Survei menunjukkan bahwa 83% responden yakin jika situasi ini terus berlanjut tanpa perubahan, maka sektor pariwisata Indonesia akan mengalami penurunan yang signifikan.
Dalam menghadapi tantangan ini, pelaku industri perhotelan berharap pemerintah memberikan solusi konkret untuk meredam dampak negatif dari kebijakan efisiensi anggaran. Beberapa bentuk bantuan yang paling diharapkan oleh pelaku usaha hotel antara lain:
-
Keringanan atau pengurangan pajak
-
Program pemasaran dan promosi pariwisata
-
Pelatihan dan pengembangan keterampilan bagi staf hotel
-
Bantuan keuangan, seperti hibah dan pinjaman lunak
-
Penyederhanaan regulasi, termasuk kebijakan bebas visa untuk menarik wisatawan mancanegara