Terkait Salam Pancasila, GMNI Imbau BPIP Tak Terjebak Simbolisasi

JAKARTA, Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) menanggapi terkait polemik “Salam Pancasila” yang diperkenalkan oleh Kepala BPIP Yudian Wahyudi sebagai salam kebangsaan yang menurutnya telah menjadi kesepakatan nasional.

Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino menyampaikan bahwa sebagai pelurusan sejarah salam Pancasila dengan pekik merdeka sebagai salam nasional telah ditetapkan dalam Putusan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 31 Agustus 1945, dan secara resmi mulai berlaku sejak 1 Septémber 1945.

Read More

“Salam nasional kita adalah salam Pancasila dengan pekik merdeka. Ini sudah ditetapkan dalam Putusan Maklumat Pemerintah Republik Indonesia tanggal 31 Agustus 1945, dan secara resmi mulai berlaku sejak 1 Septémber 1945. Dan maklumat ini belum dicabut. Sehingga masih berlaku”, tutur Arjuna

Menurut Arjuna, salam Pancasila dengan pekik merdeka ditetapkan Bung Karno sebagai salam nasional sebagai salam pengikat bahwa kita sebagai bangsa memiliki rasa senasib dan sepenanggungan, sebagai saudara se-tanah air.

“Pekik Merdeka adalah bahasa yang melintas batas, menyapa semua tanpa sekat, lebih menghentak, dan menggelorakan jiwa. Tanda bahwa kita saudara senasib dan sepenanggungan, bersama-sama berjuang tanpa kompromi melawan segala bentuk penindasan manusia atas manusia”, tambah Arjuna

Namun menurut Arjuna, agar tidak menjadi polemik yang kontraproduktif. GMNI menyarankan agar BPIP tidak terlampau terjebak pada simbolisasi. GMNI mendorong BPIP agar fokus meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara. Bukan berpersepsi keliru menjadikan Pancasila sebagai moral individu.

“BPIP lebih baik fokus meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara. Melakukan refleksi kritis terhadap kebijakan yang tidak berdasar pada Pancasila, yang menuai ketidakadilan hingga memecah persatuan”, terang Arjuna

BPIP kata Arjuna harus mengerjakan pekerjaan yang lebih substansial tentang bagaimana Pancasila menjadi pedoman penyusunan kebijakan negara dan segala bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini lebih mendesak dikerjakan dibanding berpolemik soal salam simbolis.

“Ada pekerjaan yang lebih substansial yang harus dikerjakan oleh BPIP, yaitu bagaimana Pancasila bisa menjadi pedoman penyusunan kebijakan negara dan peraturan perundang-undangan. Sehingga Pancasila tidak hanya jadi bunyi-bunyian. Tapi termanifestasi dalam kebijakan negara”, tutup Arjuna

Related posts

Leave a Reply