JAKARTA, Anggota Komisi XII DPR RI Hasani bin Zuber menegaskan perlunya penataan ulang arah kebijakan transisi energi nasional dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET).
Hal ini disampaikan kepada awak media usai menerima audiensi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (1/12/2025).
“Transisi energi adalah keputusan politik jangka panjang yang akan menentukan arah pembangunan Indonesia,” ujar Hasani.
Audiensi yang melibatkan IESR, IRID, IPC, ICEL, WWF Indonesia, dan WALHI itu memaparkan sejumlah persoalan, mulai dari absennya peta jalan penghentian batubara hingga tidak adanya target bauran energi terbarukan yang jelas.
Koalisi juga menyoroti definisi “energi baru” yang dinilai membuka ruang bagi energi fosil serta potensi tumpang tindih dengan berbagai regulasi sektoral.
Dari sisi anggaran, koalisi menilai dukungan fiskal untuk energi terbarukan, yang masih di bawah 1 persen, tidak sebanding dengan subsidi energi fosil yang lebih dari 94 persen.
Hasani mengapresiasi seluruh masukan dan menegaskan bahwa substansi RUU EBET harus dikaji ulang.
“Catatan masyarakat sipil, dari definisi energi baru hingga skema pendanaan, akan kami bahas secara mendalam di Fraksi Demokrat dan Komisi XII,” katanya.
Ia menekankan pentingnya arah kebijakan yang lebih jelas.
“RUU EBET harus memastikan Indonesia benar-benar bergerak menuju energi bersih, bukan memperpanjang dominasi energi fosil,” ujarnya.
Hasani juga mengingatkan pentingnya tata kelola yang terbuka.
“Prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus menjadi fondasi kebijakan transisi energi yang berkeadilan,” ujar legislator asal Jawa Timur XI itu.
Hasani memastikan DPR berkomitmen menghadirkan regulasi yang mendukung percepatan ekonomi rendah karbon.
“DPR memiliki tanggung jawab menghadirkan regulasi yang memperkuat ketahanan energi nasional,” katanya.
Politisi dari Partai Demokrat ini menambahkan, RUU EBET harus menjadi instrumen perubahan yang selaras dengan pembangunan energi bersih.
“RUU EBET harus menjadi instrumen transformasi yang inklusif dan berkelanjutan, serta menjawab tantangan iklim,” ujarnya.







