Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen Sulit Tercapai karena Efisiensi Anggaran Pemerintah

Ilustrasi

JAKARTA, Target pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029 diprediksi sulit tercapai akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Dalam skenario pemerintah, pertumbuhan ekonomi 2025 ditargetkan mencapai 5,3%, lebih tinggi dari asumsi dalam APBN 2025 yang sebesar 5,2%. Target ini kemudian meningkat secara bertahap hingga mencapai 8% pada 2029. Namun, sejumlah faktor ekonomi, termasuk penghematan anggaran dan dinamika sektor manufaktur, dianggap akan menjadi tantangan besar untuk mencapai target tersebut.

Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa tantangan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ambisius ini cukup besar, terutama dengan adanya kebijakan penghematan dan realokasi anggaran pemerintah. Sebagai bagian dari upaya efisiensi anggaran, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 308 triliun yang akan digunakan untuk investasi BPI Danantara.

Read More

Namun, Yusuf menekankan bahwa proses relokasi anggaran ini harus dilakukan dengan hati-hati, memperhatikan kemampuan belanja kementerian/lembaga (K/L) di tingkat pusat serta kemampuan fiskal pemerintah daerah. Jika tidak dikelola dengan cermat, kebijakan ini justru dapat menjadi tekanan tambahan yang menghambat pencapaian target ekonomi pemerintah pada 2025.

“Proses relokasi anggaran jika tidak dilakukan secara hati-hati dan melihat kemampuan belanja K/L di level pusat dan juga kemampuan fiskal pemerintah daerah justru akan menjadi tekanan untuk mencapai target pemerintah di tahun 2025,” ujar Yusuf , Kamis (27/2/2025).

Selain efisiensi anggaran, sektor industri manufaktur juga menjadi salah satu sektor yang diprediksi sulit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Selama 10 tahun terakhir, industri manufaktur Indonesia mengalami stagnasi, yang salah satunya disebabkan oleh rendahnya ekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi dan keterkaitan yang lemah dengan rantai pasok global.

Yusuf menilai dua faktor ini menjadi hambatan besar bagi sektor manufaktur untuk berkembang sesuai harapan pemerintah. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sektor manufaktur harus mampu meningkatkan daya saing global, meningkatkan ekspor produk bernilai tambah tinggi, dan memperkuat hubungan dengan pasar internasional.

Faktor lain yang turut mempengaruhi pencapaian target ekonomi adalah penurunan kelas menengah Indonesia, yang sudah terjadi bahkan sebelum pandemi Covid-19. Hal ini tentu saja berdampak pada konsumsi rumah tangga, yang merupakan salah satu pilar utama dalam pendorong pertumbuhan ekonomi. Yusuf mencatat bahwa kelas menengah yang lebih kecil akan memperkecil daya beli masyarakat, yang pada akhirnya mengurangi kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Yusuf juga mengungkapkan bahwa insentif bagi kelas menengah saat ini masih terbatas. Tanpa adanya kebijakan yang mendukung untuk meningkatkan daya beli masyarakat, akan sulit bagi pemerintah untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara signifikan dalam lima tahun ke depan.

“Insentif bagi kelas menengah masih relatif terbatas, sehingga pemerintah menghadapi tantangan dalam meningkatkan konsumsi rumah tangga untuk menopang pertumbuhan ekonomi lima tahun ke depan,” tambahnya.

Related posts

Leave a Reply