JAKARTA, Monumen Nasional (Monas), ikon Jakarta yang megah dengan lidah api berlapis emas, ternyata memiliki kisah unik di balik pembangunannya. Sebagian besar emas yang melapisi lidah api Monas merupakan sumbangan seorang filantropi asal Aceh, Teuku Markam.
Dari total 38 kg emas yang melapisi lidah api Monas, sebanyak 28 kg di antaranya disumbangkan oleh Teuku Markam. Emas tersebut digunakan untuk mempercantik simbol semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.
Lidah api Monas sendiri terbuat dari perunggu dengan berat 14,5 ton, tinggi 14 meter, dan diameter 6 meter. Emas yang menyelimuti lidah api terdiri dari 77 bagian yang dirangkai menjadi satu.
Teuku Markam lahir pada tahun 1925 di Aceh dan merupakan keturunan uleebalang (bangsawan). Pada usia muda, ia mengikuti pendidikan militer di Koeta Radja (sekarang Banda Aceh) dan kemudian bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Markam turut berjuang dalam pertempuran Medan Area dan menjadi ajudan Jenderal Gatot Subroto sebelum akhirnya diperkenalkan kepada Presiden Sukarno.
Markam kemudian mendirikan PT Karkam, sebuah perusahaan yang diberi kepercayaan untuk mengelola pampasan perang oleh pemerintah Orde Lama. Dari bisnis ini, Markam mengembangkan berbagai usaha, termasuk ekspor-impor, galangan kapal, dan pengelolaan infrastruktur.
Selain menyumbang emas untuk Monas, kontribusi Teuku Markam meliputi pembebasan lahan untuk pembangunan Istora Senayan, infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat, serta rekonstruksi jalan di pesisir Timur Aceh. Markam juga menjadi pengimpor berbagai barang strategis, seperti mobil Toyota Hardtop, besi beton, dan senjata.
Kedekatannya dengan pemerintahan Orde Lama menjadikan Teuku Markam salah satu konglomerat berpengaruh pada masanya. Bahkan, ia disebut sebagai ‘Kabinet Bayangan’ pemerintahan Sukarno.
Meskipun jasanya besar, nama Teuku Markam sempat meredup setelah Orde Lama berakhir. Namun, sumbangsihnya bagi bangsa Indonesia, terutama emas yang menghiasi Monas, tetap menjadi warisan yang tidak ternilai.