JAKARTA, Anggota Komisi I DPR RI, Andina Thresia Narang, menegaskan pentingnya percepatan Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran demi menjawab tantangan penyiaran digital yang kian kompleks. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran Komisi I DPR RI bersama para pakar dan akademisi, Andina menyebut revisi ini tidak hanya penting dari sisi hukum, tetapi juga mendesak secara sosial dan kultural, khususnya dalam melindungi generasi muda dari konten digital yang tak terkontrol.
“Urgensi revisi ini sangat genting di zaman sekarang. Generasi muda kini hidup dalam arus konten digital yang tidak memiliki batasan seperti televisi konvensional,” ujar Andina dalam RDPU bertajuk “Penyiaran Multiplatform dan Equal Playing Field di Bidang Penyiaran” yang digelar di Ruang Rapat Komisi I, Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (21/07/2025).
Politisi Fraksi NasDem ini menyoroti maraknya konten negatif di platform live streaming, mulai dari perilaku merokok, ujaran kasar, hingga tampilan seronok yang bebas tanpa pengawasan. Hal ini menurutnya menjadi ancaman serius bagi moral dan karakter generasi muda.
Lebih jauh, Andina menyinggung soal filter bubble dan dominasi algoritma platform digital yang cenderung menampilkan konten sensasional, seperti dijelaskan oleh pakar komunikasi Prof. Ahmad M. Ramli. Ia menilai perlunya pengaturan transparansi algoritma dalam RUU Penyiaran agar konten lokal dan edukatif tidak tertutup oleh konten viral yang dangkal.
“Apakah di RUU Penyiaran perlu ada pasal khusus soal transparansi algoritma platform digital? Konten lokal, termasuk UMKM dan budaya daerah, saat ini sulit bersaing karena sistem algoritma hanya mengejar viralitas,” katanya.
Menanggapi pandangan Prof. Masduki, Andina juga mendorong penguatan regulasi dan lembaga pengawasan konten digital. Ia menilai bahwa saat ini regulasi seperti UU ITE maupun pedoman komunitas dari platform digital belum cukup ampuh melindungi masyarakat dari konten negatif.
“UU ITE tidak mengatur ujaran vulgar secara eksplisit. Apakah kita perlu membentuk lembaga pengawas baru? Atau mungkin memperluas kewenangan KPI ke ranah digital? Ini harus dipertimbangkan dalam revisi UU Penyiaran,” tegas Legislator Dapil Kalimantan Tengah itu.
Andina juga menyuarakan keprihatinan atas lemahnya pengawasan terhadap konten berbayar dan sponsor di platform digital. Kepada Dr. Ignatius Haryanto Djoewanto, ia menilai banyaknya konten vulgar yang tetap lolos sensor membuktikan bahwa pendekatan self-regulation belum efektif.
“Saya tidak sepakat kalau kita hanya bergantung pada community guidelines. Realitanya, konten vulgar masih banyak beredar. Bahkan sponsor yang masuk pun tidak melalui proses kurasi yang layak,” jelasnya.
Mengakhiri pernyataannya, Andina menyoroti krisis eksistensial yang dihadapi media penyiaran konvensional akibat masifnya penetrasi platform digital.
Ia menyebut pendapatan TV nasional anjlok hingga Rp3 triliun pada 2023, sebagai sinyal darurat bagi keberlangsungan ekosistem penyiaran nasional, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“TV nasional masih sangat penting, terutama untuk menjangkau wilayah 3T. Kalau mereka tumbang karena tidak bisa bersaing dengan platform digital yang tidak teratur, rakyat di pelosok akan kehilangan akses terhadap informasi yang kredibel,” pungkas Andina.