Oleh: Eko Sulistyo, Sejarawan, Deputi di Kantor Staf Presiden (2015-2019).
Siapa tak kenal Didi Kempot, penyanyi sekaligus pencipta lagu campursari yang kini bangkit kembali dengan lagu-lagunya yang digandrungi kalangan milenial. Didi Kempot yang kini mendapat julukan “Lord Didi” atau “The Godfather of Broken Heart” seakan mampu menghipnotis kawula muda untuk ikut bernyanyi dan bergoyang mengikuti irama lagu campursari. Inilah fenomena “Sobat Ambyar”, sebutan yang melekat pada para lover dan penggemarnya di seantero tanah air.
Bisa dibilang, Didi Kempot tergolong musisi yang tidak hanya konsisten di jalur musik campursari, tapi juga unik secara penampilan. Dengan memakai beskap (blangkon, selop, jarik) serta rambut gondrongnya, lagu-lagu Didi Kempot dapat diterima generasi muda zaman now. Bait-bait lagu-lagunya dalam bahasa Jawa seperti Pamer Bojo, Cidro, Suket Teki, Statiun Balapan, Pantai Klayar, Banyu Langit, menjadi hymne bersama dan karaoke massal kaum muda perkotaan di setiap aksi panggungnya.
Berkat sosial media kini lagu-lagu Didi Kempot tidak hanya mudah dinikmati, tapi juga mampu menembus batas generasi. Youtube dan video viralnya telah dilihat jutaan orang. Di tangan Didi Kempot, genre musik campursari yang bersifat lokal dinasionalkan dan dirayakan sebagai medium ekspresi generasi milenial mulai dari kampus hingga hotel-hotel berbintang.
Campursari dan Masyarakat Jawa
Meski bukan orang pertama yang memperkenalkan campursari, namun kehadiran Didi Kempot dalam kancah musik komtemporer Indonesia mampu mengubah image campursari. Mirip dengan perjalanan musik dangdut, awalnya kesan kampungan dan kelas bawah melekat pada musik campursari. Kehadirannya tidak dianggap “pop” karena cakupan genrenya seperti halnya dangdut dan keroncong, bertentangan dengan kemodernan yang diusung oleh genre pop.
Sebagai sebuah genre, campursari merupakan aliran baru dalam musik etnis Jawa. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan, lagu campursari dan tembang Jawa atau langgam Jawa sebenarnya memiliki kesamaan. Namun jika dilihat dari segi instrumen atau alat musik yang mengiringinya, lagu campursari mempunyai perbedaan dari lagu-lagu Jawa lainnya.
Dalam bahasa Jawa arti kata campursari sendiri berarti campuran, atau menggabungkan alat musik gamelan yang dikombinasi dengan instrumen musik Barat seperti keyboard. Namun dalam nada-nadanya tetap mengikuti pakem musik langgam Jawa dan gending. Dalam masyarakat Jawa, campursari dinyanyikan pada acara hajatan pernikahan, sunatan, kelahiran dan kadang ulang tahun.
Campursari juga acap kali dinyanyikan di tengah pertunjukkan wayang kulit dalam “goro-goro” sebagai hiburan. Perpaduan keyboard dan karawitan yang dimainkan menghasilkan gaya hibrida aransemen lagu-lagu Jawa yang jenaka, “ugal-ugalan”, kadang juga “saru”. Disinilah kecerdasan seorang dalang dalam melihat peluang pasar yang memadukan unsur kemodernan dengan budaya lokal.
Didi Kempot sendiri merupakan salah satu musisi yang sudah malang melintang dalam dunia musik campursari. Bermula sebagai pengamen jalanan di kota Solo 1984 dan di Jakarta 1986, kemunculannya di jagad hiburan sebenarnya sudah lama dan sudah menghasilkan beberapa album sejak 1989. Dalam sebuah wawancara dalam perspektif MetroTV di youtube, Didi Kempot menyebut telah menciptakan sekitar 700 lagu campursari, termasuk yang dinyanyikan oleh orang lain.
Awal kebangkitan kembali Didi Kempot, sebagaimana diceritakan seorang pegiat media sosial di Solo, mirip sebuah kecelakaan. Tidak disangka penampilannya dalam acara reuni Rumah Blogger Indonesia (RBI) di Solo, bulan Juni, dua minggu setelah Lebaran, videonya viral dan menjadi trending topik di twitter. Publikpun lantas membicarakan dan meresponnya sebagai bentuk sambutan positif atas kehadirannya yang ambyar.
Berbeda dengan pendahulunya seperti Manthous dan Anjar Any, lagu-lagu Didi Kempot mampu menghadirkan suasana kejiwaan dan kejadian dalam hidup keseharian seperti jatuh cinta, patah hati atau dikhianati dalam lirik bahasa Jawa sederhana dan menyentuh. Nuansa mellow dalam lagu-lagunya itulah yang kini dianggap mewakili perasaan fans yang menamakan dirinya sad boys dan sad girls atau sobat ambyar.
Nasionalisme Multikultural
Lagu-lagu Didi Kempot memang memiliki ciri khas. Hampir semua lagu Didi Kempot menggunakan bahasa Jawa ngoko. Bertema kejadian hidup sehari-hari dan mengambil setting publik seperti Tirnonadi, Statiun Balapan, Pasar Klewer, Malioboro. Selain itu mengandung ungkapan-ungkapan yang bermakna konotasi serta kisah percintaan yang berujung perpisahan atau kesedihan.
Menariknya, menurut Didi Kempot, kesedihan yang ada dalam lirik lagu-lagunya bukan untuk diratapi tapi memberi semangat untuk lebih baik. Dalam ungkapannya yang kini banyak diunggah dalam percakapan para penggemarnya di media sosial, “daripada patah hati mending dijogeti.” Itulah fenomena sobat ambyar, gambaran perasaan galau atau ambyar anak-anak muda zaman sekarang yang diungkapkan lewat lagu dan joget musik campursari.
Seperti disampaikan Jeremy Wallach, profesor di Departemen Budaya Populer Bowling Green State University, Ohio, dalam Musik Indonesia 1997-2001: Kebisingan & Keberagaman Aliran Lagu (2017), musik popular merupakan alat utama kreatifitas kaum muda Indonesia mengeksplorasi identitas dan posisi mereka dalam dunia dan bangsa modern. Dalam konteks sobat ambyar, penerimaan lagu-lagu etnolinguistik seperti campursari oleh generasi milenial di panggung hiburan nasional adalah cerminan sikap multukultural masyarakat Indonesia.
Multikulturalisme sendiri adalah realitas dan sekaligus menjadi tantangan masa kini dan masa datang bagi Indonesia. Multikulturalisme bukan doktrin politik yang isinya programatik, juga bukan teori filosofis tentang manusia dan budayanya. Multikulturalisme adalah perspektif tentang kehidupan manusia yang menempatkan keanekaragaman budaya sebagai modal sosial dan sumber peluang kreatif bagi kemajuan sebuah bangsa.
Dalam kajian budaya, ekspresi musik menjadi bagian penting dalam budaya masyarakat modern. Kemampuannya untuk menghubungkan perasaan dan membangun solidaritas bersama, dapat menjadi instrumen yang menyatukan sebuah bangsa. Maka secara afektif, dalam perspektif multikulturalisme, perasaan nasionalisme dan ke-Indonesia-an dapat didorong melalui musik.
Dalam fenomena sobat ambyar, musik campursari Didi Kempot dapat menjadi sarana penting memperkuat identitas nasional Indonesia. Penerimaan penggemarnya yang lintas budaya dan lintas generasi, dapat menjadi identitas baru yang menyatukan. Dorongan nasionalisme multikultural ini bisa menjadi counter-culture terhadap narasi ideologi yang berbasis agama, suku, ras maupun kelas, karena musik juga bisa menyatukan lintas kelas sosial.
Dalam peringatan Hari Musik Nasional 9 Maret kali ini, sebagai penutup tulisan ini, mari kita rayakan dengan menyanyikan lagu-lagu Didi Kempot sambil berjoget “ambyarwati” ala Sintya Merisca. Selamat Hari Musik Nasional. (Suara Pembaruan, 9 Maret 2020)