Sistem Zonasi, Antara Harapan dan Realita

Oleh : Sigit Pramono Sekretaris DPC ISRI KOTA MALANG

Tujuan didirikannya Negara Kesatuan Indonesia yang tertuang pada pembukaan UUD 1945 adalah:

Melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan inilah yang menjadi cita-cita ideal bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan kata lain cita-cita tersebut adalah amanat kepada setiap pemerintah yang ada di negara Indonesia untuk mewujudkannya.

Salah satu dari tujuan yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 45 di atas adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini mengandung pengertian bahwa negera lewat pemerintah Indonesia berkewajiban mewujudkan masyarakat yang terdidik secara umum maupun secara khusus. Jiwa ini kemudian tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 BAB XIII Pasal 31 yang intinya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan wajib mengikuti pendidikan dasar selanjutnya pemerintah berkewajiban membiayai pendidikan dasar tersebut.

Sebagai landasan operasional maka pemerintah Indonesia mengeluarkan produk hukum yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang “Sistem Pendidikan Nasional” dan selanjutnya untuk mengatur sistem penerimaan peserta didik baru maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan yang gunanya sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya, kebijakan ini adalah Permendikbud No. 14 Tahun 2018.

Apabila ditinjau dari sisi hukum, maka urutan produk-produk hukum ini adalah legal konstitusioanal dalam arti sah secara hukum. Hal ini dikarenakan produk hukum yang di bawah tidak diperbolehkan bertentangan dengan produk hukum yang di atasnya. Dari produk-produk hukum tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah implementasi petujuk pelaksanaan dan teknis penerimaan peserta didik baru yang tertuang dalam Permendikbud No. 14 Tahun 2018 ini mewakili keadilan bagi hak rakyat sebagai warga negara Indonesia dalam mendapatkan keadilan hukum khususnya dalam mendapatkan pendidikan?”

Dalam Permendikbud No. 14 Tahun 2018 dijelaskan bahwa tujuan dikeluarkannya kebijakan yang mengatur tentang penerimaan peserta didik baru ini adalah “peningkatan akses layanan pendidikan ke masyarakat”. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka proses penerimaan peserta didik baru harus dilaksanakan dengan berlandaskan pada azas objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminasi dan berkeadilan. Bila dicermati dari tujuannya maka Permendiknas ini adalah ideal dan sesuai dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu landasan pelaksanaan penerimaan peserta didik baru ini adalah anti diskriminasi. Diskriminasi berasal dari bahasa latin yaitu discriminatus yang artinya membagi atau membedakan. Banton (dalam Sunarto, 2004) menyampaikan bahwa diskriminasi merupakan perlakuan membedakan seseorang kriteria, katagori, atau kelompok tertentu. Hal ini bermakna bahwa apapun kebijakan yang arahnya membeda bedakan perlakuan terhadap kriteria atau kategori masyarakat adalah bentuk diskriminasi.

Pada Permendikbud No. 14 Tahun 2018 memuat salah satu alasan sistem penerimaan peserta didik baru adalah anti diskriminasi. Menurut Theodorson (dalam Danandjaja, 2013), kategori diskriminasi yang dimaksud dapat terjadi pada perlakuan yang membeda-bedakan berdasarkan ras, kesukubangsaan (primordial), religi, gender, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah membeda bedakan berdasarkan atas suatu prestasi juga termasuk diskriminasi? Tentu jawabannya tidak. Mengapa demikian, karena prestasi bukan perbedaan pada manusia yang bersifat tetap seperti halnya ras, primordial, gender ataupun religi. Prestasi dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa terkecuali baik orang kaya, kurang mampu, orang kota, orang desa, suku Jawa, suku Sunda, agama Islam, agama Kristen, agama Hindu, agama Buda, agama Kong Hu Chu dan lain-lain asalkan peserta didik itu memiliki kemauan dan usaha yang tinggi. Banyak orang pandai berasal dari golongan mampu tapi juga tidak sedikit orang pandai berasal dari golongan yang kurang mampu. Sehingga membeda-bedakan tingkat prestasi bukanlah bentuk dari diskriminasi melainkan upaya spesifikasi dalam mempermudah memilih pendekatan dan metode pembelajaran. Hal ini dikarenakan ada peserta didik yang berpotensi berprestasi di bidang akademik tapi di sisi lain dengan subtansi yang sama, berpotensi berprestasi di bidang non akademik.

Selanjutnya pelaksanaan penerimaan peserta didik baru ini menggunakan sistem zonasi di mana masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan pada satuan-satuan pendidikan yang terdekat, artinya satuan pendidikan berkewajiban untuk menerima peserta didiknya berdasarkan dari zona terdekat terhadap satuan pendidikan tersebut. Sistem ini berkonsekuensi bahwa calon peserta didik diharuskan memilih satuan pendidikan yang terdekat dan satuan pendidikan harus menerima calon peserta didik yang domisilinya terdekat terhadap satuan pendidikan tersebut.

Pada dasarnya sistem zonasi adalah ideal, dengan sistem ini sebenarnya memudahkan masyarakat sendiri dalam mendapatkan akses pendidikan. Jika dalam pelaksanaannya terjadi permasalahan-permasalahan di masyarakat seperti saat ini, maka permasalahan ini bukan pada sistem zonasinya yang di dalamnya terkandung tujuan mulia yaitu meningkatkan akses pendidikan kepada masyarakat dan meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Bahwa apapun kebijakan yang dikeluarkan harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yaitu untuk memenuhi keadilan hukum atas kebijakan yang dikeluarkan tersebut.

Beberapa ahli menyampaikan bahwa kebijakan berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik. Hal tersebut berarti bahwa suatu kebijakan diharapkan dapat menyelesaikan suatu masalah dan tidak menimbulkan adanya masalah baru.

Bahwa kedilan harus dirasakan oleh semua masyarakat adalah makna tersurat dari sila ke lima Pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jangan sampai kebijakan yang sebenarnya bersifat mulia justru menghasilkan ketidak adilan di masyarakat sebagai penerima kebijakan tersebut karena kebijakan yang dikeluarkan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang berdasarkan atas suatu keadilan.

Sistem zonasi bisa dilaksanakan dengan ideal dan tidak menghasilkan ketidak adilan di masyarakat jika seluruh satuan pendidikan memiliki tingkat nilai akreditasi, fasilitas pendukung pendidikan, dan kompetensi tenaga-tenaga pengajar yang sebanding. Dengan demikian mayarakat akan mendapatkan akses pendidikan yang sama dimanapun domisilinya. Jika ini tidak terpenuhi maka yang terjadi adalah diskriminasi wilayah yang sebenarnya kontra produktif dengan dasar tujuan kebijakan ini yang anti diskriminasi.

Mengapa demikian? Karena yang akan terjadi adalah terdapat sebagian masyarakat yang diuntungkan karena sebagian masyarakat tersebut berada di wilayah yang berdekatan dengan sekolah yang berkualitas (khususnya daerah perkotaan) dan ada sebagian masyarakat yang dirugikan karena berada di wilayah yang dekat dengan sekolah dengan fasilitas pendukung atau kompetensi guru yang masih rendah (khusunya yang jauh dari perkotaan).

Keadilan bukan masalah kuantitas tapi lebih ke masalah kualitas. Fenomena ini ditanggapi oleh masyarakat dengan cara memindahkan alamat putra putrinya dengan tujuan mendapatkan sekolah seperti yang diinginkan. Ini semua adalah bukti belum terpenuhinya syarat-syarat yang harus dipenuhi pada kebijakan penerimaan peserta didik baru dengan mengunaan sistem zonasi.

Salah satu permasalahan kebijakan penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi adalah upaya peningkatan kualitas pendidikan. Apabila tidak cermat, bijaksana dan teliti maka kebijakan ini bukan menuju meningkatkan kualitas pendidikan secara bersama sama tetapi justru turunnya kualitas pendidikan secara bersama sama. Kualitas pendidikan mungkin akan merata tapi tidak merata majunya tetapi merata stagnannya.

Oleh karena itu sebelum mengeluarkan kebijakan ini sebaiknya pemerintah tentunya melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memahami permasalahan-permasalahan yang ada pada masyarakat, tingkat kesenjangan pada satuan-satuan pendidikan yang dikelola negara, tingkat kompetensi guru yang tidak sama antara satuan-satuan pendidikan dan jumlah satuan-satuan pendidikan yang ada. Sehingga diharapkan permasalahan-permasalahan tersebut sudah terselesaikan sebelum kebijakan penerimaan peserta didik baru ini dikeluarkan. Selain itu pelaksanaan kebijakan sistem zonasi ini akan berhubungan dengan kementerian-kementerian yang lain.

Kebijakan ini berhubungan dengan sistem perotasian aparatus negara khususnya tenaga pendidik yang berhubungan dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berpengaruh juga pada Kementerian Keuangan. Pemerataan ini tentunya tidak hanya diperuntukkan pada sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbud, akan tetapi harus mencakup seluruh sekolah termasuk sekolah di bawah Kementerian Agama.

Tugas pemerintah saat ini seharusnya adalah meratakan terlebih dahulu segala aspek yang berhubungan dengan satuan pendidikan, baik kulitas, fasilitas, kompetensi gurunya sebelum meratakan akses pendidikan dengan menggunan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru. Seluruh sekolah harus sama, baik di kota, di desa, daerah terpencil, tertinggal dan terluar.

Peningkatan kualitas guru-guru pada satuan pendidikan yang dianggap masyarakat belum memiliki kualitas yang baik adalah wajib dilaksanakan selain kebijakan pemindahan tugas guru secara merata. Selain itu diperlukan kerjasama dengan kementerian yang lain untuk lebih mensukseskan tujuan dari kebijakan ini.

Dengan demikian harapannya pendidikan nasional di Indonesia bisa merata. Seluruh masyarakat akan mendapatkan haknya dalam mendapatkan pendidikan secara adil, tidak diskriminatif dan semoga pendidikan di Indonesia bisa maju, meningkat dan berkualitas secara merata.

Related posts

Leave a Reply