Sigmaphi Indonesia: Stabilitas Politik Di Tahun 2020 Akan Lebih Baik, Dengan Beberapa Catatan Penting

JAKARTA, Tahun 2020 menjadi tahun pertama bagi Pemerintahan Jokowi – Maruf Amin dalam melangkah. Tahun tersebut akan menjadi tahun perdana keduanya memimpin pasca pilpres yang telah menyita energi publik sedemikian tingginya. Lantas bagaimana situasi politik nasional ke depan di bawah kepemimpinan Jokowi – Maruf di 2020.

Pengamat politik Sigmaphi Reno Koconegoro dalam acara Sigmaphi Economic and Political Outlook 2020 di Hotel Ashley Jakarta, menjelaskan jika Stabilitas Politik pada Tahun 2020 mendatang akan lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. Namun, bukan dengan tanpa catatan. Tahun 2020 memiliki beberapa catatan penting terkait dengan risiko politik yang ada dari Pilkada serentak, soliditas koalisi serta manuver dari tokoh politik 2024.

Read More

Pilkada serentak 2020 memang menjadi Pilkada serentak yang terbesar, namun risiko politiknya tidak sebesar pilkada-pilkada sebelumnya. Hal tersebut karena pilkada dilaksanakan pada provinsi dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu besar (tidak ada Jawa Barat, Jawa Tengah atau Jawa Timur).

Sedangkan untuk risiko politik di level kota, pilkada akan dilaksanakan di ibu kota provinsi seperti Medan, Semarang, Surabaya, Balikpapan, Manado, Makassar, Palu, Mataram dll., maka hal itu perlu menjadi perhatian.

Selanjutnya untuk pilkada di kabupaten, Reno mengungkapkan jika terdapat 20 kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat yang melaksanakan pilkada. Sehingga perlu mendapat perhatian khusus mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.

Terkait dengan personalia yang masuk ke dalam kabinet, Reno menjelaskan jika stabilitas politik serta keamanan relatif akan lebih terjaga. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya beberapa sosok penting purnawirawan TNI dan POLRI ke dalam kabinet.

“Kabinet Pak SBY kedua, memasukkan empat purnawirawan. Sedangkan kabinet Pak Jokowi yang kedua, memasukkan lima purnawirawan yang di dalamnya terdapat nama Pak Prabowo dan Pak Tito yang merupakan mantan Kapolri” ujar Reno.

Selanjutnya, tim eksekutif rezim Presiden Joko Widodo berisi sosok yang memiliki relasi yang cukup kuat dengan media-media besar di Indonesia. Adanya Nasdem, Wishnutama, Angela Tanoesoedibjo dan Putri Tanjung dapat turut membantu pemerintahan dapat berjalan lebih stabil dalam relasinya dengan opini publik.

Selain itu, pengangkatan tujuh milenial menjadi staf khusus memiliki potensi positif bagi citra pemerintahan Jokowi – Maruf Amin. Namun, ketika mereka gagal mememnuhi ekspektasi milenial yang tinggi, maka hal itu justru dapat berdampak negatif bagi pemerintahan Jokowi – Maruf.

“Ekspektasi dan tuntutan milenial kepada para Staf Khusus milenial itu sangat tinggi. Jadi ketika kinerja mereka gagal dalam memenuhi ekspektasi para milenial, tujuh staf khusus milenial tadi justru akan menjadi boomerang bagi pemerintahan Pak Jokowi” tutur peneliti politik Sigmaphi ini.

Adapun mengenai risiko politik 2020, Reno menyoroti soliditas koalisi parpol pendukung pemerintah. Tantangan soliditas koalisi, diperkirakan akan terus muncul dari Partai Nasdem.

Ia menjelaskan jika pada 2014, Partai Nasdem mendapat persentase kursi di DPR sebesar 6% dan kemudian mendapatkan alokasi kursi kabinet sebesar 10%. Namun pada 2019, ketika Nasdem berhasil mendapatkan 10% kursi di DPR, mereka justru mendapat alokasi kursi kabinet sebesar 8%.

“Alokasi kursi kabinet untuk Nasdem tercatat turun sebesar 2%. Padahal nasdem berhasil menaikkan perolehan kursinya di DPR sebesar 4%. Bahkan kenaikkan perolehan kursi Nasdem di DPR menjadi yang terbesar. Inilah yang menjadi penyebab mengapa tercipta semacam ketegangan politik antara Nasdem dengan Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu” jelas Reno.

Risiko politik 2020 yang kedua berkaitan dengan soliditas koalisi parpol pendukung pemerintah di DPR. Besarnya koalisi pemerintah saat ini, bukan merupakan suatu jaminan yang pasti untuk stabilitas politik di DPR. Reno mengungkapkan jika pada 2009, koalisi Presiden SBY sebesar 75,5%, namun ia harus menghadapi maneuver dari partai yang di antaranya membentuk Pansus Century.

“Koalisi Pak Jokowi yang sebesar 74,3% di DPR, bukanlah jaminan pasti untuk terciptanya stabilitas politik di DPR dalam jangka panjang. Buktinya, koalisi Pak SBY pada 2009 yang sebesar 75,5% atau lebih tinggi dibanding koalisi Pak Jokowi, tetap menghasilkan Pansus Century” ungkap Reno.

“Ketiadaan petahana di Pilpres 2024 sama dengan kondisi Indonesia pasca SBY di Pilpres 2014. Wakil dari keduanya juga berasal dari jalur non partai politik. Hal ini akan membuka peluang bagi para tokoh baru untuk bertarung di 2024” menurut Reno.

Reno menjelaskan jika sosok-sosok yang masuk ke dalam bursa pencalonan RI 1 dan RI 2 berpotensi mengeluarkan kebijakan dan pernyataan yang kontroversial. Hal itu dilakukan untuk mempertahankan namanya tetap menjadi bahan perbincangan publik.

“Jadi, para tokoh 2024 akan berlomba untuk menjadi top of mind publik mengenai sosok pemimpin. Mereka berusaha mereplikasi momen ketegangan Wali Kota Solo dengan Gubernur Jawa Tengah pada 2011 – 2012 yang berhasil menjadikan Pak Jokowi sebagai top of mind publik mengenai sosok pemimpin” pungkas Reno.

Related posts

Leave a Reply