DENPASAR, Perayaan tahun ke-5 Sastra Saraswati Sewana 2025 yang digelar di Gedung Ksirarnawa, Minggu (30/11/2025), menjadi momentum kolaborasi antara teknologi dan tradisi dalam pengembangan kebudayaan Bali. Pada acara tersebut, Yayasan Puri Kauhan Ubud meluncurkan buku Brahmasara Bhawana Mukti dan menampilkan garapan tari kontemporer Ma Samua dari Tanzer Dance Company.
Kegiatan ini dihadiri perwakilan Dirjen Bimas Hindu, PHDI Bali, para sulinggih, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Ketua Harian Majelis Kebudayaan Bali, serta para penglingsir puri se-Bali.
Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, menyatakan bahwa tema Brahmasara Bhawana Mukti: Teknologi untuk Kemajuan Peradaban lahir dari kegelisahan atas pesatnya perkembangan teknologi global. Ia menilai masyarakat Bali perlu bersikap waspada agar tidak tercerabut dari akar budayanya.
“Teknologi jangan sampai mencabut kita dari akar. Justru harus menjadi kendaraan baru menuju bhawana mukti,” ujar Ari. Ia mengutip pesan Prof. Ida Bagus Mantra tentang pentingnya menjaga harga diri dan jati diri Bali di tengah derasnya arus budaya teknologi.
Buku Brahmasara Bhawana Mukti merupakan hasil pergulatan pemikiran selama setahun, melibatkan para wiku, undagi, pande, sangging, arsitek, serta penggiat teknologi modern. Buku ini menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi sebagai alat pemulia kebudayaan, termasuk dorongan agar generasi muda Bali menjadi pencipta, bukan sekadar konsumen teknologi.
Ari juga menyinggung perlunya membangun Ekosistem Teknologi Berbasis Kebudayaan, termasuk upaya besar digitalisasi dan dokumentasi budaya Bali dalam basis data terpadu. “Dari kita, oleh kita, untuk kita,” tegasnya.
Usai peluncuran buku, acara dilanjutkan dengan pementasan Ma Samua, karya terpilih dari kompetisi garapan kreatif Yayasan Puri Kauhan Ubud. Karya ini dipilih oleh tim juri yang terdiri dari Prof. I Wayan Dibia, Prof. Komang Sudirga, Tjokorda Raka Kerthyasa, A.A. Ariawan, dan Made Sidia. Tanzer Dance Company kemudian menjalani pendampingan penuh hingga karya siap dipentaskan, termasuk pembiayaan produksi dari yayasan.
Ma Samua mengangkat simbol “gedung kecil berisi sepasang arca” sebagai metafora titik temu energi dan kehendak dalam kisah Samuha. Pementasan ini memadukan ritual ngelambuk baa, kisah Siwa Sampurna, serta narasi lontar Kusuma Dewa, yang kemudian diperkaya teknologi untuk menciptakan pengalaman artistik bernuansa magis kontemporer.
Ari menegaskan bahwa karya tersebut bukan sekadar tontonan, tetapi penanda bahwa seni Bali mampu bertransformasi tanpa kehilangan spiritualitasnya. “Ini ruang baru bagi ekosistem seni Bali, tempat tradisi bertemu inovasi kreatif,” ujarnya.
Yayasan Puri Kauhan Ubud menyatakan komitmen untuk terus mendorong riset dan pengembangan gagasan kebudayaan serta memberi ruang bagi seniman muda untuk bereksperimen. “Bali dapat menjadi pusat inspirasi dunia—tempat kearifan lokal berjalan beriringan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Ari.
Ia mengajak masyarakat menjadikan peluncuran buku dan pementasan Ma Samua sebagai momentum memperkuat komitmen membangun peradaban Bali yang arif dan inklusif.







