Sebanyak tujuh praktisi dan seniman fotografi unjuk kebolehan menampilkan karya unik mereka pada Riau Photo Festival 2019, yang berlangsung di Harry Parhimpunan Gallery di Jalan Kundur, Kota Pekanbaru, Jumat malam (13/12).
ArengkaSatu selaku penyelenggara Riau Photo Festival 2019, mewadahi para pameris untuk menggelar eksebisi foto sesuai standar pameran sehigga tiap karya memiliki nilai jual. Ia mengatakan acara bertajuk “Artificial Art” tersebut terbuka untuk umum, dan berlangsung mulai tanggal 13 hingga 28 Desember 2019.
“Harapannya dari karya yang dipamerkan punya standar nilai jual yang layak untuk pasar seni,” kata Penasihat ArengkaSatu, Arza Aibonotika.
Wartawan Antaranews yang mengikuti dari awal proses Riau Photo Festival 2019 melihat acara tersebut ibarat gerilya segelintir seniman dan praktisi fotografi di Pekanbaru, untuk menunjukan eksistensi dan juga untuk menggairahkan atmosfer fotografi daerah itu yang selama ini dinilai dingin dan tidak berbobot.
“Harapannya untuk memberikan motivasi baru bagi teman-teman di bidang fotografi sebagai cabang dari ekonomi kreatif. Acara ini adalah pre-event karena targetnya pada 2020 kita akan adakan Riau Photo Festival dengan skala lebih besar,” lanjut Arza yang akrab disapa Ibon ini.
Kurator pameran menyeleksi karya secara selektif. Setiap calon partisipan wajib melakukan presentasi karya dalam proses kuratorial. Pameran itu terselenggara dengan skema kolaborasi lintas komunitas foto dan pembiayaan swadaya.
“Prosesnya dari partisipan disaring melalui dua tahap. Pertama pra-presentasi untuk mengenali konsep karya dan lebih pada ide berfikir seniman dalam menentukan objek karyanya. Awalnya ada 14 seniman fotografi, dan akhirnya tersaring tinggal tujuh pameris setelah melalui tahap kedua, yaitu presentasi final,” kata Kurator Riau Photo Festival 2019, Fachrozi Amri.
Tujuh pameris terpilih antara lain Arza Aibonotika, Dedy Sutisna, Julian Sitompul, Reza F. Kampay, Syamyatmoko, FB Rian Anggoro, dan Yunaidi Joepoet. Mereka adalah praktisi fotografi dengan latar belakang yang berbeda-beda mulai dari pewarta foto, akademisi, seniman hingga fotografer komersil.
Karena seleksi yang ketat, karya-karya yang muncul pada pameran itu terlihat segar dan unik untuk dunia pameran seni fotografi di Riau. Tidak ada foto yang dicetak dengan kertas biasa, melainkan di media kanvas, plat alumunium composite, kertas campur akrilik, multimedia berupa instalasi foto dengan potongan benda dan suara, serta kreasi kamera yang mendaur ulang limbah kotak CPU komputer.
“Meski begitu ada benang merah dalam karya-karya yang muncul dengan sendirinya, bahwa dari hasil akhir ternyata seniman memahami tema lebih kental untuk merespon lingkungan sekitarnya. Benang merahnya tentang Riau dilihat dari permasalahan lingkungannya,” kata Fachrozi.
Ketua Badan Riau Creative Network (BRCN), Husnul Kausarian, yang hadir membuka acara tersebut menyatakan sangat takjub melihat karya-karya yang dipamerkan. “Saya tidak punya gambaran sebelumnya ini bakal sehebat yang ada di kota-kota besar. Ternyata Pekanbaru punya potensi untuk mengadakan pameran fotografi berkelas,” katanya.
Ia berharap acara tersebut bisa digelar lebih besar dan promosi yang lebih gencar kepada publik.
“Saran saya acara ini harus lebih dibesarkan lagi. Mungkin kritik yang perlu disampakan kepada panitia ataupun penanggung jawab, sosialisikan kegiatan ini lebih luas lagi. Saya yakin dan percaya, pasti akan lebih banyak orang yang datang,” ujar Husnul.
Seorang pengunjung, Ridho Ikhsan, mengatakan tidak menyangka bahwa di Pekanbaru ada acara pameran seni fotografi yang bisa dikonsep sangat detil. “Ketika baru masuk (galeri) ini seperti bukan di Pekanbaru, serasa di Jogja, serasa dimana gitu,” katanya.
Ia berharap pameran tersebut bisa berkelanjutan karena karyanya bisa dinikmati siapa saja. “Buat saya wajib yang tak ngerti seni datang ke sini, karena ternyata seni itu bisa dinikmati. Saya sampai masuk ke sini (galeri) tiga kali bolak-balik,” ujar pegiat komunitas Kelas Malam di Pekanbaru ini. (ant)