Revisi Tatib DPR RI Soal Evaluasi Pejabat Negara Menuai Sorotan Publik

Foto : sinpo

JAKARTA, Revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR kembali menuai sorotan publik. Kali ini, perubahan yang diusulkan pada Pasal 228A yang berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR,” mengundang kontroversi. Evaluasi yang disebutkan dalam pasal tersebut dianggap dapat menambah kewenangan baru bagi DPR dalam menilai pejabat yang telah ditetapkan.

Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, keputusan DPR menambah kewenangan dalam Tatib tersebut tidak dapat diterima. Pasalnya, Tatib seharusnya hanya mengatur teknis internal lembaga parlemen yang bersumber pada UU MD3 sebagai rujukan utama. Menurut Lucius, kewenangan DPR untuk mengevaluasi pejabat yang mereka ajukan dinilai tidak sesuai dengan tugas dan fungsi para pejabat tersebut yang telah diatur dalam UU yang berlaku.

Read More

“Jika DPR diberi kewenangan untuk mengevaluasi pejabat yang mereka ajukan, ini bisa menimbulkan konflik kepentingan yang serius,” ujar Lucius saat dihubungi pada Jumat (7/2).

Lebih lanjut, Lucius menyebutkan bahwa perubahan Tatib ini dapat merusak lembaga-lembaga negara yang pejabatnya telah disetujui oleh DPR. Ia menilai semangat perubahan tersebut cenderung mengarah pada pembentukan kekuasaan yang sewenang-wenang.

“Semangat perubahan Tatib ini sudah keliru sejak awal,” katanya.

Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, juga mengkritik substansi norma dalam Pasal 228A yang dinilai keliru secara formil. Menurut Hendardi, peraturan internal sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan, bukan kewenangan untuk mengevaluasi pejabat negara. Selain itu, Hendardi menilai bahwa norma tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat.

Hendardi menambahkan, fungsi pengawasan yang melekat pada DPR adalah mengawasi pelaksanaan undang-undang oleh organ pemerintahan, bukan kinerja personal atau individu. Hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan berlapis yang merugikan.

“DPR seharusnya mengawasi pelaksanaan UU, bukan mengevaluasi kinerja personal yang bisa menimbulkan konflik kepentingan,” jelas Hendardi.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial, DPR diberikan kewenangan untuk menyetujui pencalonan, memilih, atau menetapkan pejabat negara dengan tujuan untuk memastikan adanya kontrol dan keseimbangan antar lembaga negara. Oleh karena itu, perubahan Tatib yang melampaui batas kewenangan ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memberikan klarifikasi terkait revisi Tatib tersebut. Dasco menegaskan bahwa perubahan tersebut bertujuan untuk memperkuat fungsi DPR dalam pengawasan terhadap mitra kerjanya. Ia juga membantah anggapan bahwa aturan ini memberi kewenangan pada DPR untuk mencopot pejabat negara.

“Itu sifatnya hanya rekomendasi. Bunyinya mengevaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna. Tidak ada kata-kata untuk mengevaluasi pejabat di situ,” kata Dasco, Kamis (6/2), menanggapi kritikan yang beredar.

Related posts

Leave a Reply