JAKARTA, Terus bertambahnya warga Ibu Kota yang terpapar Corona Virus Desease 2019 (COVID-19) setiap hari memaksa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menarik “rem darurat”.
“Rem darurat” itu berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pernah diberlakukan sejak 10 April 2020. Dalam beberapa kali periode, PSBB dilaksanakan untuk mengerem penyebaran virus corona di Jakarta.
Pada awalnya adalah beberapa kali perpanjangan PSBB, kemudian seiring dengan kemampuan pengendalian penyebaran virus corona maka menjadi PSBB Transisi. PSBB Transisi itu dibarengi dengan pelonggaran kegiatan di masyarakat.
Misalnya, untuk kegiatan perkantoran, lalulintas publik, sebagian tempat-tempat wisata dan pusat perbelanjaan mulai ada pelonggaran. Meski baru diaktifkan sekitar 50 persen dari kapasitas, situasi telah menunjukkan sinyal-sinyal kebangkitan virus itu lagi.
Tetapi peningkatan aktivitas publik justru memicu kenaikan deret angka pasien COVID-19 dari hari ke hari. PSBB Transisi dalam beberapa fase perpanjangan belum mampu mengendalikan penyebaran virus ini di tengah semakin tingginya aktivitas publik.
Artinya, di masa pandemi ini, semakin tinggi aktivitas memicu kenaikan orang yang terpapar. Pada awal dilakukan PSBB, penyebaran virus ini diklaim bisa direm tetapi ketika aktivitas publik dilonggarkan angka jumlah pasien mengalami kenaikan.
Fluktuatif
Jumlah kasus yang diumumkan setiap hari fluktuatif. Kadang turun, kadang naik, tetapi secara kumulatif terus bertambah.
Kasus baru COVID-19 di Jakarta pada Jumat sebanyak 1.034 kasus. Jumlah kasus akibat paparan virus novel corona jenis baru ini di Ibu Kota sudah mencapai 52.321.
Pertambahan pada Rabu (9/9) sebanyak 1.026 kasus, Selasa (8/9) 1.015, Senin (7/9) 1.105, Ahad (6/9) 1.245, Sabtu (5/9) 842 kasus dan Jumat (4/9) sebanyak 895 kasus. Sedangkan pada Kamis (3/9) sebanyak 1.406 kasus.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia menerangkan bahwa penambahan 1.034 kasus ini merupakan hasil dari pemeriksaan 9.243 spesimen pada Kamis (10/9) yang keluar hasilnya pada Jumat ini.
Sampai 10 September 2020 sudah ada 818.529 sampel telah diperiksa dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mengetahui jejak COVID-19 di lima wilayah DKI Jakarta lewat 54 laboratorium.
Untuk pemeriksaan 10 September 2020, dari 9.243 spesimen, sebanyak 6.982 orang dites untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 1.034 kasus positif dan 5.948 negatif.
Untuk rata-rata tes PCR total per satu juta penduduk sebanyak 68.832. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 56.720.
Berdasarkan data yang diterbitkan Dinas Kesehatan DKI pada Rabu (8/9), untuk isolasi harian COVID-19 di 67 rumah sakit (RS) rujukan adalah sekitar 77 persen dari kapasitasnya saat ini sebanyak 4.456 tempat tidur.
Dengan demikian, hanya tersisa sekitar 1.024 tempat tidur isolasi harian untuk penanganan paparan dari virus yang berasal dari Wuhan (China) itu.
Sementara itu, okupansi tempat tidur ICU mencapai 83 persen dari kapasitasnya sejumlah 483 tempat tidur. Atau hanya menyisakan sekitar 83 unit ICU di 67 Rumah Sakit Rujukan untuk penanganan paparan COVID-19.
Jumlah kasus aktif akibat COVID-19 yang masih dirawat/isolasi di Jakarta saat ini sebanyak 11.824 orang.
Dari jumlah kasus konfirmasi secara total di Jakarta pada Jumat sebanyak 52.321 kasus, ada 39.115 orang dinyatakan telah sembuh. Sedangkan 1.382 orang meninggal dunia.
Dalam persentase, tingkat kesembuhan di Jakarta adalah 74,8 persen dan tingkat kematian 4,1 persen. Untuk “positivity rate” atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta setelah penambahan Jumat, sebesar 12,7 persen.
Sedangkan persentase kasus positif secara total sebesar 7,1 persen (sebelumnya 7,0 persen). WHO menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari lima persen.
Selama vaksin belum tersedia, maka penularan wabah harus dicegah bersama-sama dengan disiplin menegakkan pembatasan sosial dan protokol kesehatan.
Dwi menyebutkan hal yang perlu diingat oleh masyarakat untuk memperhatikan dan menjalankan prinsip-prinsip dalam berkegiatan sehari-hari. Yakni tetap tinggal di rumah bila tak ada keperluan mendesak.
Selanjutnya warga harus menjalankan 3M: Memakai masker dengan benar, Menjaga jarak aman 1-2 meter dan Mencuci tangan sesering mungkin.
Kemudian, seluruh kegiatan yang diizinkan beroperasi harus dalam kapasitas maksimal 50 persen dan menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Selanjutnya warga harus mengingatkan sesama untuk selalu menerapkan protokol kesehatan.
“Rem Darurat”
Fakta dalam angka itu yang menjadi alasan Anies memperketat kembali aktivitas publik. Ancaman untuk menarik kembali “rem darurat” yang disampaikan pada Juli 2020 benar-benar diwujudkan mulai 14 September 2020.
Anies Baswedan resmi mencabut PSBB Transisi dan memberlakukan kembali PSBB Total. Dengan melihat keadaan darurat ini di Jakarta, tidak ada pilihan lain selain keputusan untuk tarik rem darurat.
“Artinya kita terpaksa berlakukan PSBB seperti awal pandemi. Inilah ‘rem darurat’ yang harus kita tarik,” kata Anies dalam keterangan pers yang disampaikan di Balai Kota Jakarta, Rabu (9/9) malam.
Alasan Anies mengambil keputusan tersebut karena tiga indikator yang sangat diperhatikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Yaitu tingkat kematian, ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU khusus COVID-19 serta tingkat kasus positif di Jakarta.
Dalam dua pekan angka kematian meningkat kembali, secara persentase rendah tapi secara nominal angkanya meningkat kembali. Kemudian tempat tidur ketersediaannya maksimal dalam sebulan, kemungkinan akan penuh jika tidak lakukan pembatasan ketat.
Pemberlakuan kembali PSBB yang diperketat ini mulai 14 September 2020 namun belum diketahui kapan berakhirnya.
Efektifkah?
Namun diakui berbagai pihak bahwa keberhasilan kebijakan untuk wilayah metropolitan Jakarta tidak bisa dilepaskan dari dukungan dan peran kawasan penyangga. Pun demikian, kebijakan daerah penyangga sering memperhatikan kepentingan Jakarta.
Ini karena jutaan warga yang bekerja di Jakarta bertempat tinggal di kawasan penyangga, yakni Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).
Dalam konteks inilah, keputusan memberlakukan PSBB Total di DKI Jakarta menghadapi potensi kendala terkait koordinasi dengan pemerintah daerah sekitarnya. Itu juga muncul saat pemberlakuan PSBB pada 10 April 2020.
Kini sejumlah kepala daerah penyangga mempertanyakan kejelasan, efektivitas, teknis dan konsekuensi dari kebijakan Jakarta tersebut.
Wali Kota Bogor Bima Arya menilai PSBB Total di DKI Jakarta belum jelas. Karena itu, Anies Baswedan diminta untuk berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait keputusannya tersebut.
“Dari Jakarta sendiri belum jelas. PSBB Total seperti apa? Apakah ‘lockdown’
(karantina) total, itu yang belum ‘clear’ (jelas) . Masih perlu difinalisasi lagi. Jadi setelah konsepnya jelas, baru berkoordinasi lagi,” ujar Bima.
Para kepala daerah se-Bodetabek sepakat meminta Anies agar terlebih dulu berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menyempurnakan konsep dan rumusan PSBB Total tersebut.
Dalam rapat yang juga dihadiri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim tersebut, Bima mengatakan, Anies rencananya berkoordinasi dengan pemerintah pusat pada Sabtu (12/9), sebelum kemudian rapat akan kembali digelar pada Senin (14/9).
Bima mengatakan, hasil rapat belum mengambil keputusan apapun, termasuk kemungkinan daerah penyangga Ibu kota bakal mengikuti langkah serupa dengan menerapkan PSBB Total.
Kewenangan
Menjawab beragam pertanyaan dari kepala daerah penyangga dan juga dari publik, Anies pun bersuara. Sebenarnya secara umum PSBB Total sama dengan pengetatan dalam PSBB Jakarta pada 10 April 2020-4 Juni 2020.
“Iya ini kan pengetatan (seperti sebelumnya), nanti ada item-item mana yang kita izinkan, mana yang tidak,” kata Anies.
Namun dalam PSBB Total ada beberapa yang berbeda dalam isi kebijakannya dibanding PSBB sebelumnya. Seperti tempat ibadah (di lingkungan) bisa jalan, namun yang berskala besar tidak diizinkan.
Untuk sektor perkantoran ditetapkan hanya 11 yang bisa beroperasi selama PSBB Total. Itu berarti tidak ada perubahan.
Apakah daerah penyangga juga harus melaksanakan PSBB Total? Bagaimana efektivitas kebijakan itu jika tanpa dukungan pemerintah daerah penyangga?
Anies menyatakan, tidak memiliki kewenangan untuk meminta, apalagi memaksakan pemberlakuan PSBB Total di wilayah lainnya yang berhubungan dengan Jakarta.
Tidak ada kewenangan dari DKI untuk memaksakan pada tempat lain. “Kami pun tidak pernah meminta, karena itu adalah kewenangan tiap-tiap daerah,” kata Anies.
Bahkan hal itu belum akan membicarakan teknis penerapan PSBB dalam hal pembatasan pergerakan orang dengan daerah penyangga Jakarta dalam waktu dekat.
Dengan kepala daerah penyangga, kata Anies, nanti sesudah Jakarta memutuskan (pembatasan pergerakan orang dan industri) baru bicarakan.