JAKARTA, Bawaslu mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 48/PUU-XVII/2019 tentang Permohonan Pegujian Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau biasa disebut UU Pilkada. Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan, putusan MK ini memberikan kepastian hukum legalitas Bawaslu Kabupaten/Kota dalam melaksanakan fungsi pengawasan dalam Pilkada 2020.
“Kepastian hukum bagi Bawaslu sangat penting karena Bawaslu akan melakukan fungsi penegakan hukum, fungsi pengawasan, sehingga pertanyaan mengenai kepastian hukum itu menjadi dasar dan memiliki peran yang signifikan,” ujarnya usai menghadiri sidang putusan dibacakan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (29/1/2020).
Fritz menjelaskan, perbedaan nomenklatur dalam UU Pilkada 10/2016 dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menjadi persoalan terutama dalam hal kewenangan yang nantinya akan dilakukan Bawaslu Kabupaten/Kota yang sebelum bernama Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Perlu diketahui, perbedaan nomenklatur dalam UU Pilkada 10/2016 dengan yang ada di UU Pemilu 7/2017 menjadi persoalan terutama kewenangan yang nantinya dimiliki oleh Bawaslu Kabupaten/ Kota.
“Putusan ini penting bagi Bawaslu untuk meneguhkan dan memberi legalitas bagi jajaran Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota untuk melaksanaksn tugas-tugasnya,” tegas Fritz.
Fritz juga mengatakan, putusan MK ini memberikan penafsiran baru mengenai apa yang dimaksud dengan Panwaslu tingkat kabupaten/kota yang sebelumnya bersifat Ad hoc (sementara) sehingga dapat langsung dilaksanakan sebagai lembaga permanen sesuai legalitas berdasarkan UU Pemilu 7/2017. Dirinya menjabarkan, dengan telah dinyatakan bahwa frasa Panwas Kabupaten/Kota dimaknai Bawaslu Kabupaten/Kota konstitusional, maka dengan sendirinya mempersamakan jumlah anggota bawaslu provinsi dan jumlah kabupaten/kota sesuai dengan jumlah dalam UU Pemilu 7/2017 baik dalam penyelenggaraan pemilu maupun pilkada. “Artinya hal ihwal yang berkenaan dengan pengisian jabatan anggota Bawaslu Kabupaten/Kota yang kemudian diberi wewenang mengawasi pemilihan di tingkat kabupaten/kota seharusnya juga disesuaikan dengan perubahan yang terjadi dalam UU Pemilu 7/2017,” sebutnya.
“Intinya, setelah UU Pemilu 7/ 2017, maka bentuk lembaga bersifat permanen dan jumlah anggota harus disesuaikan. Meskipun pemilihan dan pemilu itu dilaksanakan dengan rezim dan undang-undang yang berbeda tetapi status dan sifat penyelenggara pemilihannya tetap seperti yang diatur dalam UU Pemilu 7/ 2017,” tambah dia.
Selain itu, Fritz juga mengingatkan pembentukan Panwas Kabupaten/Kota yang dahulu dibentuk Bawaslu Provinsi tidak lagi berlaku sehingga harus mengikuti ketentuan UU Pemilu 7/2017. “Ketika Panwas Kabupaten/Kota telah dimaknai menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota, maka semua pengaturan yang menentukan batas waktu pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota dalam Pasal 24 UU Pilkada 10/2016 sebagai bagian dari tahapan persiapan pilkada dan Panwas Kabupaten/Kota dibentuk dan ditetapkan oleh Bawaslu Provinsi harus pula dinyatakan inkonstitusional sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah (MK),” tegas Fritz
Dirinya menambahkan, Bawaslu berharap dengan adanya putusan tersebut jajaran di bawahnya dapat melakukan kerja pengawasan dan penindakan saat Pilkada 2020 dan segera melaksanakan putusan MK ini.Perlu diketahui, putusan ini dibacakan Ketua Majelis Hakim Anwar Usman didampingi delapan anggota majelis hakim lainnya, yakni Aswanto, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P Foekh.Sedangkan permohonan uji materi UU Pilkada 10/2016 ini diajukan oleh Ketua Bawaslu Sumtra Barat Surya Efitrimen, Ketua Bawaslu Kota Makassar Nursari, dan Anggota Bawaslu Kabupaten Ponorogo Sulung Muna Rimbawan.