Proyek Sejarah Nasional Dinilai Upaya Melegitimasi Soeharto

BALI, Wacana penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon menuai kritik tajam dari kalangan sejarawan dan jurnalis. Mereka menilai proyek tersebut berpotensi mengulang narasi Orde Baru dengan tujuan melegitimasi figur Soeharto serta mengabaikan kompleksitas sejarah bangsa.

Dalam diskusi di Ubud Writers and Readers Festival 2025, Sabtu (1/11) di Ubud, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis dan sejarawan Bonnie Triyana sepakat bahwa gagasan “sejarah resmi negara” menandai kembalinya pola pikir yang menempatkan sejarah sebagai alat politik kekuasaan.

Read More

Menurut Uni Lubis, langkah Fadli Zon sejalan dengan upaya menonjolkan kembali peran Soeharto sebagai Bapak Pembangunan sekaligus calon pahlawan nasional.

“Apa yang dilakukan Fadli Zon sekarang seperti menulis ulang buku ala Orde Baru,” ujarnya.

Uni Lubis menambahkan, proyek yang semula dijadwalkan diluncurkan bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia akhirnya tertunda karena kritik publik yang meluas.

“Rencana itu dikemas sebagai hadiah kemerdekaan, tapi isinya romantisasi Orde Baru,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa pada masa Orde Baru, sejarah dipakai untuk menguatkan legitimasi kekuasaan, salah satunya melalui film Pengkhianatan G30S/PKI yang wajib ditonton setiap tahun di sekolah.

Uni Lubis menilai poyek ini satu paket dengan upaya menormalisasi citra Soeharto. Fadli Zon, menurutnya, ingin menulis sejarah dalam “suara harmoni” yang hanya menonjolkan sisi positif para pemimpin.

“Masalahnya, sejarah bukan hanya tentang yang baik. Pengalaman kelam bangsa juga bagian penting yang harus diakui,” katanya.

Sementara itu, Bonnie yang juga anggota Komisi X DPR RI menilai proyek sejarah nasional yang diklaim “resmi” berbahaya karena menghapus keragaman tafsir dan pengalaman masyarakat.

“Jika ini disebut sejarah resmi Indonesia, maka akan muncul sejarah yang dianggap tidak resmi atau bahkan subversif. Itu berbahaya,” tegasnya.

Ia juga menilai dana besar yang digunakan seharusnya dialihkan untuk memperkuat literasi publik melalui museum dan riset sejarah masyarakat. Pola desukarnoisasi muncul kembali dalam rancangan awal buku tersebut, termasuk hilangnya kisah Konferensi Asia-Afrika dan peran perempuan Indonesia.

“Ini bukan sekadar soal fakta, tapi ideologi. Sejarah kembali ditulis dari sudut pandang penguasa,” tutur Politikus PDI Perjuangan ini.

Lebih lanjut, keduanya menilai proyek tersebut mengancam semangat reformasi. Dengan menyingkirkan narasi pelanggaran HAM, korupsi, dan represi politik, sejarah versi pemerintah berpotensi mengembalikan glorifikasi terhadap masa kekuasaan Soeharto.

“Jika Soeharto diangkat sebagai pahlawan nasional, generasi muda akan kehilangan konteks mengapa reformasi terjadi,” tandas legislator dapil Banten ini.

Related posts

Leave a Reply