JAKARTA, Produksi singkong di Lampung, sebagai sentra utama penghasil singkong di Indonesia, terus mengalami penurunan dalam dekade terakhir. Pada tahun 2022, Lampung hanya menghasilkan sekitar 6,7 juta ton singkong, yang berkontribusi sekitar 40% dari total produksi nasional. Angka ini jauh menurun dari produksi puncak 9 juta ton pada 2010. Penurunan produksi ini menjadi masalah serius, mengingat industri tapioka di Lampung menyerap sekitar 90% dari hasil singkong, dengan kontribusi devisa mencapai Rp 10 triliun.
Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia (MSI), Arifin Lambaga, menyatakan bahwa ada sejumlah masalah yang harus segera diatasi untuk menyelamatkan industri singkong di Lampung. Salah satu masalah utama adalah rendahnya produktivitas, yang saat ini berada pada angka 22 ton per hektar. Hal ini disebabkan oleh ketidakoptimalan dalam aktivitas on-farm yang menghasilkan bahan baku industri pengolahan singkong. Akibatnya, banyak hasil panen singkong tidak dapat terserap sepenuhnya oleh industri atau bahkan dibeli dengan harga yang sangat rendah.
Pada 23 Desember 2024, harga singkong yang disepakati melalui mediasi Pemerintah Provinsi Lampung sebesar Rp 1.400/kg dengan refaksi maksimal 15% ternyata memberatkan pihak industri tapioka. Turunnya harga pasar global membuat beberapa pabrik memilih menghentikan produksi, yang berdampak langsung pada pengurangan pembelian singkong dari petani. Ini memicu demonstrasi besar oleh petani yang menuntut solusi konkret.
Masalah Ketidaksalingpercayaan antara Petani dan Industri
Selain harga yang rendah, terdapat ketidaksalingpercayaan (trust) antara petani dan industri terkait penetapan rendemen dan potongan (refaksi). Penentuan kadar aci (rendemen) singkong dan potongan refaksi biasanya ditentukan sepihak oleh pembeli, dengan rendemen petani rata-rata sekitar 20% dan refaksi antara 15% hingga 30%. Hal ini membuat petani merasa dirugikan, dan mereka menuntut transparansi dalam proses penetapan tersebut.
Arifin Lambaga mengajukan beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Untuk jangka pendek, MSI menyarankan agar pemerintah segera mengimplementasikan kebijakan untuk menyelamatkan singkong hasil panen petani yang tidak terserap industri. Diperlukan juga dukungan dan akses pembiayaan bagi petani untuk mendapatkan bibit, pupuk, serta sarana produksi lainnya.
Selain itu, MSI mengusulkan agar harga singkong di tingkat petani minimal sebesar Rp 1.200/kg dengan refaksi maksimal 15%. Pemerintah daerah juga diminta untuk memfasilitasi komunikasi antara petani dan industri agar tercapai kesepakatan harga yang menguntungkan kedua belah pihak. Koordinasi antar kementerian, termasuk Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan, juga sangat dibutuhkan untuk mencari solusi komprehensif terhadap permasalahan ini.
Untuk solusi jangka panjang, MSI merekomendasikan agar pelaku industri tapioka diwajibkan untuk bermitra dengan petani lokal. Melalui kemitraan ini, pabrik akan terlibat dalam pembinaan petani untuk meningkatkan produktivitas serta menghasilkan umbi singkong yang sesuai dengan spesifikasi pabrik. Selain itu, MSI juga mendorong penyusunan peta jalan (road map) untuk pengembangan industri berbasis singkong di Lampung yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti pemerintah, perbankan, pengusaha, akademisi, dan LSM.
Singkong juga harus diposisikan sebagai pangan strategis nasional, dengan mendorong kebijakan yang mempermudah pengembangan tanaman ini. Investasi dalam hilirisasi produk berbahan baku singkong, di samping memperkuat industri tapioka yang sudah ada, juga menjadi langkah penting untuk memastikan keberlanjutan industri singkong di Lampung dan Indonesia.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan produksi singkong di Lampung dapat terjaga, dan kesejahteraan petani singkong dapat meningkat, sekaligus memastikan ketersediaan bahan baku untuk industri tapioka yang berkelanjutan.