Oleh: Hasan Ashari
Mahasiswa Program Doktor Manajemen Berkelanjutan, Perbanas Institute
Dalam setiap masa genting, bangsa ini selalu melahirkan sosok yang bukan hanya ahli secara teknis, tetapi juga teguh secara moral. Ketika ekonomi nasional berhadapan dengan ketimpangan struktural, kebocoran fiskal, dan cengkeraman oligarki, publik kembali menaruh harapan pada dua arah kebijakan baru yang disebut sebagai Prabowonomics dan Purbaya Effect, dua simbol dari usaha membangun ekonomi yang berpihak kepada rakyat.
Prabowonomics: Jalan Tengah antara Rasionalitas dan Keadilan
Prabowonomics bukan sekadar slogan politik, melainkan konsep kemandirian ekonomi yang berakar pada Pasal 33 UUD 1945. Ia menekankan hilirisasi sumber daya alam, swasembada pangan, dan penguatan industri nasional berbasis nilai Pancasila. Tujuannya bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi memastikan hasil pembangunan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Seperti ditegaskan Prabowo Subianto,“Menurut saya, setiap negara membutuhkan kebijakan ekonominya sendiri dan filosofi ekonominya sendiri. … Maka, saya memilih jalan kompromi, mengambil yang terbaik dari sosialisme dan yang terbaik dari kapitalisme.”
Kutipan ini merefleksikan jalan tengah yang rasional dan bermoral, sejalan dengan kisah Nabi Yusuf di Mesir yang menafsirkan mimpi Firaun menjadi kebijakan penyelamatan pangan nasional. Yusuf membangun sistem cadangan hasil panen, menjaga distribusi agar tidak dikuasai segelintir elit, dan memastikan rakyat tidak kelaparan. Semangat inilah yang hidup dalam Prabowonomics: visi ekonomi yang menggabungkan rasionalitas dengan keadilan sosial.
Namun, Prabowo juga mengingatkan bahaya kebijakan ekonomi yang kehilangan moral. Ia menyebut fenomena itu dengan istilah yang tegas: “Ini sudah bukan pengusaha yang benar. Ini bukan bisnis. … Ini saya beri nama serakahnomics. … Ada yang mau cari keuntungan di atas penderitaan rakyat, itu namanya parasit.”
Kritik tersebut menjadi peringatan moral terhadap praktik ekonomi rente dan dominasi oligarki — bentuk baru dari “Firaun dan Haman modern” yang menindas rakyat melalui struktur ekonomi yang timpang dan kebijakan yang dimanipulasi.
Purbaya Effect: Semangat Yusufian dalam Kebijakan Fiskal
Sementara itu, Purbaya Effect menggambarkan pengaruh positif kebijakan fiskal yang rasional, optimistis, dan pro-rakyat di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Fenomena ini menunjukkan bahwa perubahan gaya komunikasi dan transparansi kebijakan dapat memulihkan kepercayaan pasar sekaligus menumbuhkan harapan publik.
Sebagaimana diungkapkan Purbaya Yudhi Sadewa,“Pertumbuhan bagus saja tidak cukup. Yang penting adalah rakyat bisa merasakan.”
Kalimat sederhana ini memuat inti dari semangat Yusufian: bahwa ekonomi sejati adalah ekonomi yang dirasakan manfaatnya oleh rakyat, bukan hanya tercatat di grafik pertumbuhan. Dalam konteks “paceklik fiskal” yang dihadapi bangsa ini, pesan tersebut menegaskan pentingnya rasionalitas dan moralitas dalam satu napas.
Melawan Firaun dan Haman Modern
Namun perjuangan membenahi ekonomi tidak hanya berlangsung di meja kebijakan. Dalam praktiknya, para pemimpin dan birokrat berintegritas juga harus menghadapi “Firaun dan Haman modern”, mereka yang memonopoli sumber daya, memengaruhi hukum, dan mengaburkan batas antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
Seperti Musa yang menolak tunduk pada Firaun, para reformis hari ini juga berhadapan dengan kekuasaan yang menindas. Mereka berjuang dari dalam sistem, melawan arus dengan risiko politik dan sosial yang besar. Tetapi justru dari tekanan itulah lahir moralitas baru, keberanian untuk menegakkan kebenaran di tengah sistem yang korosif.
Menemukan Jalan Yusuf dan Musa
Indonesia hari ini tidak hanya membutuhkan kebijakan yang cerdas, tetapi juga pemimpin dan birokrat yang berani. Kita memerlukan lebih banyak Yusuf, yang hafidz (menjaga amanah) dan ‘alim (berilmu), serta lebih banyak Musa, yang qowiy (kuat) dan amiin (dapat dipercaya). Kombinasi keduanya melahirkan kepemimpinan yang berpikir jauh ke depan, tetapi tetap berakar pada moralitas publik.
Krisis yang sesungguhnya bukan terletak pada defisit APBN, melainkan pada defisit integritas dan keadilan. Sebesar apa pun pertumbuhan ekonomi, jika ia bertumpu pada kesenjangan dan manipulasi, maka kesejahteraan rakyat hanya akan terus menjadi mimpi.
Menuju Harapan Baru Indonesia
Prabowonomics dan Purbaya Effect, jika dimaknai secara mendalam, adalah tanda bahwa idealisme belum mati di republik ini. Bahwa masih ada ruang bagi rasionalitas dan moralitas untuk berjalan beriringan. Namun bangsa ini tidak boleh hanya menunggu mukjizat dari atas.
Nabi Yusuf tidak menunggu hujan turun, ia membangun lumbung gandum dan menerapkan teknologi pasca panen. Nabi Musa tidak menunggu laut terbelah, ia melangkah ke laut merah dan memukulkan tongkatnya ke laut. Maka, rakyat Indonesia pun harus tetap berusaha melangkah bersama, membela kebenaran, dan menjaga keadilan ekonomi.
Di situlah jalan Yusuf dan Musa bertemu, di titik di mana akal sehat dan keberanian moral menyatu, dan di mana bangsa ini menemukan kembali jiwanya: menjadi negeri yang adil, berdaulat, dan sejahtera bagi semua. Merdeka!







