Langkah Presiden Prabowo dinilai krusial dalam membangun sistem keamanan yang demokratis dan menghormati HAM.
JAKARTA, Presiden Prabowo Subianto menyetujui pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian, sebuah langkah yang disambut positif oleh kalangan pemerhati hak asasi manusia dan reformasi sektor keamanan. Keputusan ini dinilai sebagai tonggak penting dalam menghentikan praktik kekerasan dan impunitas di tubuh aparat keamanan, khususnya Polri.
Peneliti HAM dan Reformasi Sektor Keamanan dari SETARA Institute, Ikhsan Yosarie, menyebut langkah Presiden Prabowo sebagai jawaban atas akumulasi persoalan lama yang hingga kini belum terselesaikan, termasuk tindakan represif aparat dalam mengamankan demonstrasi akhir Agustus 2025.
“Berbagai insiden yang memperlihatkan represivitas dan penggunaan kekuatan berlebihan aparat kepolisian pada dasarnya merupakan persoalan berulang, bahkan sejak awal reformasi,” kata Ikhsan dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu (15/9/2025).
Menurut Ikhsan, tindakan represif aparat bukan sekadar insiden insidentil, melainkan lahir dari kultur kekerasan yang mengakar dan praktik impunitas yang dibiarkan bertahun-tahun. Hal ini membuat agenda reformasi kepolisian menjadi semakin mendesak dan tidak bisa ditunda.
“Tanpa perubahan struktural dan kultural, pelanggaran akan terus berulang. Oleh karena itu, reformasi ini harus dilakukan secara serius dan menyeluruh,” ujarnya.
Lebih dari sekadar memperbaiki citra, reformasi Polri menurut SETARA harus menjadi bagian dari pembangunan sistem keamanan nasional yang demokratis, tunduk pada hukum, serta menghormati hak asasi manusia.
“Setiap agenda membangun profesionalitas Polri berada dalam satu tarikan nafas dengan agenda membangun profesionalitas TNI,” tegas Ikhsan.
Ia menekankan bahwa memperkuat Polri secara institusional juga berarti menghambat ekspansi militerisme di sektor-sektor non-pertahanan.
Langkah Presiden Prabowo juga diharapkan bisa memperbaiki kinerja pelayanan publik dan penegakan hukum oleh Polri yang selama ini menuai sorotan. Kritik terhadap aparat sering kali muncul karena dianggap lambat, tidak transparan, atau bahkan tidak berpihak kepada korban.
“Reformasi Polri bukan hanya soal profesionalisme teknis, tapi soal nilai dan keberpihakan pada rakyat,” tutup Ikhsan.