PPN 12% dan Ancaman Disparitas Ekonomi yang Semakin Tajam

Oleh: M. Nurfadillah (Ketua Cabang GMNI Kota Tangerang)

 

Read More

Saat masyarakat tengah mempersiapkan diri untuk merayakan malam pergantian tahun 2024 ke 2025 dengan harapan baru, bayang-bayang kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal tahun 2025 justru menciptakan kegelisahan tersendiri.

Langkah ini dianggap tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang masih tertekan oleh lonjakan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup sehari-hari.

Kebijakan ini mencerminkan ketidakseimbangan prioritas pemerintah yang lebih mengutamakan peningkatan penerimaan negara ketimbang kesejahteraan rakyat.

Langkah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% dianggap tidak peka terhadap kondisi nyata mayoritas rakyat Indonesia, yang masih berjuang keras memenuhi kebutuhan dasar di tengah inflasi tinggi dan ketidakpastian ekonomi.

Sebagai pajak konsumsi, PPN sering kali dinilai bersifat regresif, artinya beban pajak yang ditanggung masyarakat tidak proporsional terhadap tingkat pendapatan mereka.

Hal ini terjadi karena PPN dikenakan langsung pada barang dan jasa yang dikonsumsi, tanpa memperhitungkan kemampuan ekonomi individu.

Akibatnya, golongan masyarakat miskin yang menghabiskan proporsi pendapatan lebih besar untuk kebutuhan pokok justru merasakan dampak yang jauh lebih berat dibandingkan golongan atas yang memiliki daya beli lebih tinggi.

Dalam praktiknya, masyarakat berpenghasilan rendah terpaksa menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan dasar seperti makanan, bahan bakar, dan layanan penting lainnya.

Sementara itu, bagi golongan atas, kenaikan PPN mungkin hanya akan berdampak kecil pada gaya hidup mereka karena pengeluaran mereka yang lebih besar mencakup barang-barang mewah yang bukan kebutuhan utama.

Kondisi ini menciptakan ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Golongan miskin terjebak dalam lingkaran kesulitan karena kenaikan biaya hidup memaksa mereka mengurangi konsumsi, bahkan untuk barang dan jasa yang esensial seperti kesehatan, dan transportasi.

Ketika daya beli masyarakat menurun, roda perekonomian juga berpotensi melambat, karena konsumsi rumah tangga adalah salah satu komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, penulis juga menyoroti bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada masyarakat umum, tetapi juga pada sektor pendidikan.

Dengan naiknya tarif PPN, biaya operasional perguruan tinggi, harga buku, dan kebutuhan belajar lainnya dikhawatirkan turut meningkat. Hal ini akan memperparah kesenjangan akses pendidikan.

Jika pemerintah tetap bersikukuh memberlakukan PPN yang lebih tinggi tanpa mempertimbangkan dampak regresifnya, maka dampak jangka panjangnya tidak hanya berupa meningkatnya kemiskinan, tetapi juga berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil dan tidak berpihak kepada mereka yang paling membutuhkan perlindungan.

Related posts

Leave a Reply