JAKARTA, Polemik pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) kembali mencuat setelah sejumlah kepala daerah mengeluhkan kebijakan efisiensi yang dinilai membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Isu ini menjadi perhatian dalam rapat koordinasi antara pimpinan DPR RI dan pemerintah, Rabu (8/10), yang membahas kondisi politik, ekonomi, hingga stabilitas nasional.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi bahwa pembahasan soal TKD menjadi salah satu topik utama bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan pejabat kementerian/lembaga lainnya. Namun, Dasco menyebut diskusi tersebut masih belum menghasilkan keputusan final.
“Ya, sama Menteri Keuangan juga kita bicarakan dinamika terkini transfer daerah,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (9/10).
Hadir dalam rapat itu antara lain Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, Ketua Komisi I DPR Budisatrio Djiwandono, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Mendagri Tito Karnavian, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, hingga Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya. Turut hadir pula perwakilan dari BIN, Mabes TNI, Kementerian Hukum dan HAM.
Dasco menegaskan, pertemuan tersebut merupakan bentuk koordinasi eksekutif dan legislatif untuk menyamakan pandangan atas berbagai dinamika terkini di lapangan.
“Kita bertukar informasi mengenai situasi politik, ekonomi, keamanan, dan lain-lain,” ujarnya.
Kritik tajam datang dari Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, yang mendesak Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar menghentikan kebijakan pemotongan TKD yang berlangsung di caturwulan akhir 2025. Menurutnya, kebijakan tersebut membuat banyak daerah kesulitan menutupi kebutuhan belanja wajib.
“Kita harus sadar, ekonomi daerah sangat tergantung pada APBD. Dan hampir 80% APBD itu berasal dari APBN, yaitu melalui transfer pusat ke daerah,” jelas Rifqi.
Ia mencontohkan gejolak yang terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, di mana pemerintah daerah terpaksa menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 100% akibat relaksasi anggaran dari pusat. Kebijakan ini memicu penolakan publik dan berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan politik di daerah.
“Kalau ini dilanjutkan, bisa jadi daerah tidak sanggup menopang belanjanya. Ini harus dihentikan segera,” tegasnya.
Diketahui, dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026 yang telah disampaikan Presiden Prabowo Subianto ke DPR, pemerintah mengusulkan alokasi dana transfer ke daerah sebesar Rp650 triliun, atau turun drastis sebesar 24,7% dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp864,1 triliun.
Angka tersebut merupakan yang terendah dalam lima tahun terakhir. Sebagai perbandingan:
-
Tahun 2021: Rp785,7 triliun
-
Tahun 2022: Rp816,2 triliun
-
Tahun 2023: Rp881,4 triliun
-
Tahun 2024: Rp863,5 triliun
-
Tahun 2025: Rp864,1 triliun
-
RAPBN 2026: Rp650 triliun
Rifqi mengakui bahwa DPR tidak memiliki kewenangan langsung menentukan besaran TKD karena hal tersebut merupakan domain pemerintah pusat melalui Kemenkeu, Bappenas, dan Kemendagri. Namun, ia menegaskan bahwa DPR punya tanggung jawab moral dan fungsi pengawasan untuk memastikan kebijakan anggaran tidak menimbulkan instabilitas.
“Kami hanya bisa mengingatkan. Mari angka ini diselamatkan dulu, agar saat kita bahas APBN 2026, kita bisa menjaga stabilitas ekonomi dan hubungan pusat-daerah,” katanya.