JAKARTA, Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, resmi ditangkap oleh Polda Metro Jaya atas dugaan menghasut massa dan menyebarkan informasi elektronik yang menimbulkan keresahan publik. Penangkapan dilakukan pada Senin malam, 1 September 2025, sekitar pukul 22.45 WIB, dan hingga kini Delpedro masih menjalani pemeriksaan intensif di Mapolda Metro Jaya.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, dalam keterangan pers, Selasa (2/9), mengungkapkan bahwa Delpedro diduga melanggar beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut untuk melakukan pidana dan/atau menyebarkan informasi elektronik yang diketahuinya bohong dan menimbulkan kerusuhan, serta memperalat anak dalam aksi demonstrasi,” ujar Ade Ary.
Delpedro dijerat dengan:
-
Pasal 160 KUHP (penghasutan untuk melakukan kejahatan),
-
Pasal 45A ayat 4 juncto Pasal 28 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2024 tentang ITE, serta
-
Dugaan pelanggaran perlindungan anak dalam aksi demonstrasi.
Menurut pihak kepolisian, dugaan penghasutan yang melibatkan Delpedro mulai terdeteksi sejak 25 Agustus 2025, bertepatan dengan merebaknya aksi demonstrasi di sekitar Gedung DPR, Jalan Gelora, Tanah Abang, dan sejumlah titik di Jakarta.
“Proses pendalaman, pengumpulan bukti, dan penyelidikan telah dilakukan sejak tanggal 25 oleh tim gabungan Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” tambah Ade Ary.
Pihak Lokataru Foundation mengecam keras penangkapan Delpedro yang mereka sebut dilakukan tanpa surat perintah dan dasar hukum yang jelas.
“Penangkapan ini adalah bentuk kriminalisasi dan ancaman nyata bagi kebebasan sipil serta demokrasi kita,” tulis Lokataru melalui akun resmi Instagram @lokataru_foundation.
Mereka menyebut penangkapan dilakukan secara paksa dan tanpa penjelasan resmi, dengan Delpedro dibawa menggunakan mobil Suzuki Ertiga putih langsung menuju Mapolda Metro.
Kasus ini menjadi sorotan tajam karena menyangkut figur publik yang selama ini dikenal vokal dalam membela hak-hak sipil, termasuk mengkritik DPR, kebijakan pemerintah, dan dugaan pelanggaran dalam penanganan massa aksi.
Sejumlah aktivis dan organisasi masyarakat sipil kini menuntut transparansi proses hukum serta menyoroti potensi pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi di ruang demokrasi Indonesia.