LEBAK, Wacana pengembalian pilkada tidak langsung kembali memantik perdebatan publik. Di tengah isu tersebut, Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menilai penguatan literasi politik, khususnya di kalangan generasi muda, menjadi agenda mendesak agar demokrasi tidak semakin terjebak dalam praktik transaksional.
Pesan itu disampaikan Bonnie saat menyerahkan bantuan buku ke sejumlah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Kabupaten Lebak, Banten, dalam kegiatan yang melibatkan pelajar SMP dan SMA di Perpustakaan Saidjah Adinda, Rangkasbitung, Selasa (30/12/2025).
Bonnie menegaskan, rendahnya literasi politik kerap membuat rakyat berada pada posisi yang tidak adil dalam demokrasi elektoral. Masyarakat sering disalahkan atas praktik politik uang, sementara aktor yang membawa dan membagikan uang justru luput dari kritik serius.
“Literasi budaya penting, literasi digital penting, literasi politik juga penting. Sekarang isu pilkada tidak langsung kembali menguat dengan alasan efisiensi anggaran. Ini tentu ada pro dan kontra,” ujar Bonnie.
Menurut dia, dalam demokrasi yang sehat, pemimpin seharusnya dipilih berdasarkan kapasitas, integritas, dan komitmen, bukan karena besaran uang yang dibagikan. Namun, kondisi itu sulit tercapai apabila masyarakat tidak dibekali kemampuan memahami politik secara kritis.
“Kalau literasi politik rendah, siapa yang membayar paling banyak, dia yang dipilih. Setelah itu, rakyat ditinggalkan,” katanya.
Politikus PDI Perjuangan itu juga menolak anggapan bahwa rakyat menjadi pihak utama yang harus dipersalahkan dalam praktik politik uang. Ia menilai, kritik seharusnya diarahkan kepada aktor politik yang secara sadar menjadikan uang sebagai instrumen utama perebutan kekuasaan.
“Sering kali rakyat disalahkan karena politik uang. Padahal rakyat tidak bisa disalahkan. Yang membawa dan membagikan uang justru tidak pernah dipersoalkan,” ujar Bonnie.
Ia menambahkan, nominal uang yang diterima masyarakat dalam praktik tersebut relatif kecil, tetapi dampaknya sangat besar terhadap kualitas demokrasi dan masa depan bangsa. “Uangnya mungkin Rp 50.000 atau Rp 100.000, tetapi itu menggadaikan masa depan demokrasi kita,” katanya.
Dalam konteks itu, Bonnie menilai generasi Z dan generasi alfa memiliki peran strategis untuk memutus mata rantai politik transaksional. Ia mendorong pelajar untuk membangun kebiasaan membaca serta memanfaatkan perpustakaan dan TBM sebagai ruang belajar kritis.
“Kalian harus lebih kritis, lebih cerdas, dan lebih berpengetahuan. Salah satu caranya adalah membaca buku,” ujar Bonnie.
Ia optimistis, dengan budaya literasi yang kuat, generasi muda akan lebih mampu menyaring informasi, memahami persoalan demokrasi, serta menentukan sikap politik secara sadar, termasuk dalam menyikapi wacana pilkada tidak langsung.
“Dengan membaca, wawasan kita bertambah dan kita bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah,” kata Bonnie.







