Pilih Lingkungan Lestari atau Industri Pertambangan?

Oleh: Hasan Ashari

Mahasiswa Program Doktoral Perbanas Institute

Read More

Indonesia dikenal sebagai negeri zamrud khatulistiwa—kaya akan sumber daya alam mulai dari hutan tropis hingga kandungan nikel, emas, batu bara, dan timah. Namun kekayaan ini menyimpan paradoks: di satu sisi menjadi penopang ekonomi, di sisi lain menyumbang kerusakan ekologis yang mengancam keberlanjutan kehidupan.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyebutkan bahwa sektor pertambangan menyumbang sekitar 12% terhadap PDB pada 2024, terutama di luar Pulau Jawa. Ketua Umum ASPEBINDO, Anggawira, juga menegaskan bahwa kontribusi sektor ini mencapai 6–7% terhadap PDB nasional pada 2025, menyerap ratusan ribu tenaga kerja, serta menyumbang royalti dan PNBP secara signifikan.

Namun, manfaat ekonomi jangka pendek ini sering dibayar mahal: kerusakan lingkungan yang bersifat permanen. Laporan Kementerian LHK menunjukkan bahwa lubang bekas tambang yang tak direklamasi, pencemaran sungai, dan hilangnya habitat satwa liar terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bencana ekologis seperti banjir, longsor, dan kekeringan ekstrem kian meningkat seiring perluasan eksploitasi tambang.

Krisis Terkini dan Pelanggaran Aturan

Isu tambang nikel di Raja Ampat menjadi alarm keras bagi kita. Analisis Greenpeace mengungkap bahwa lebih dari 500 hektar hutan di Pulau Gag, Kawe, Manuran, dan Batang Pele telah hilang akibat aktivitas tambang. Ini tak hanya melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tetapi juga mencemari laut dan mengancam terumbu karang. Ironisnya, di tengah narasi ekonomi hijau yang didorong global, praktik tambang destruktif masih berjalan di wilayah konservasi.

Kasus Wadas di Jawa Tengah, tambang pasir kuarsa di Kepulauan Riau, hingga pertambangan di IKN juga menuai kritik atas lemahnya proses AMDAL, minimnya konsultasi publik, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal. Bahkan, data dari WALHI menunjukkan bahwa pada 2023, sekitar 30% konflik agraria di Indonesia berkaitan dengan sektor tambang dan energi.

Kita mengapresiasi kebijakan Presiden  Prabowo yang memerintahkan pencabutan atas Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan tambang di Raja Ampat. Mudah-mudahan kebijakan ini bisa menjadi awal bagi pemerintah untuk mengevaluasi seluruh  IUP yang ada di daerah-daerah yang rawan menyebabkan kerusakan ekologis.

Pergeseran Paradigma: Pembangunan Hijau atau Bunuh Diri Ekologis?

Kita perlu mengubah paradigma bahwa pelestarian lingkungan adalah hambatan pembangunan. Justru sebaliknya, lingkungan yang sehat adalah fondasi dari ekonomi yang berkelanjutan. Kerusakan ekologis akan menjadi beban negara melalui meningkatnya biaya kesehatan, kerusakan infrastruktur akibat bencana, dan hilangnya potensi sektor lain seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata.

Indonesia saat ini berada dalam tekanan global untuk mengurangi emisi karbon. Komitmen Net Zero Emission 2060 hanya akan menjadi retorika jika eksploitasi tambang terus diperluas tanpa batas. Bahkan, dalam laporan Global Forest Watch 2024, Indonesia kehilangan sekitar 1,45 juta hektar tutupan hutan primer dalam lima tahun terakhir—sebagian besar di wilayah tambang.

Rekomendasi Kebijakan dan Peran Industri

Pemerintah dan industri harus berani mengambil langkah tegas dan strategis:

Moratorium Tambang di Wilayah Kritis: Perluasan larangan tambang di wilayah hutan lindung, daerah tangkapan air, dan pulau kecil harus menjadi prioritas nasional.

Reformasi Tata Kelola AMDAL: Proses AMDAL harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna, serta transparansi data untuk mencegah manipulasi.

Penegakan Hukum Lingkungan: Perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan harus dikenakan sanksi maksimal, termasuk pencabutan izin, bukan sekadar denda administratif.

Insentif untuk Teknologi Hijau: Pemerintah dapat memberikan insentif pajak atau pendanaan bagi perusahaan tambang yang menerapkan teknologi rendah emisi dan reklamasi simultan.

Sementara itu, industri pertambangan harus meninggalkan paradigma “eksploitasi sumber daya” menuju “pengelolaan berkelanjutan”. Inovasi teknologi, keterlibatan komunitas lokal, serta transparansi harus menjadi standar operasional, bukan slogan semata.

Penutup: Warisan Hijau atau Lubang Tambang?

Kita hidup di tengah krisis iklim global. Kenaikan suhu ekstrem, hujan tak menentu, dan bencana ekologis bukan lagi ancaman masa depan— semuanya itu sudah terjadi sekarang. Maka, pilihan kita hari ini akan menentukan seperti apa Indonesia 50 tahun ke depan.

Apakah kita akan mewariskan hutan hijau dan sungai bersih kepada generasi mendatang, atau hanya uang dan lubang tambang?

Sebagaimana dikatakan David Attenborough, “Kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita, kita meminjamnya dari anak cucu kita.” Maka, mari kita kembalikan kelestarian alam Indonesia kepada mereka dengan keadaan yang lebih baik, bukan lebih buruk!

Related posts

Leave a Reply