Petani Sawit Suarakan 12 Tuntutan di Hari Tani Nasional, Desak Reforma Agraria Sejati

JAKARTA, Peringatan Hari Tani Nasional ke-65 pada Rabu (24/9/2025) dimanfaatkan kelompok petani sawit untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Dua organisasi petani sawit terbesar, yakni Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), menyampaikan total 12 tuntutan kepada pemerintah.

Tuntutan-tuntutan tersebut berkisar pada isu reforma agraria, pungutan ekspor sawit, hingga percepatan sertifikasi ISPO dan legalitas lahan. Kedua organisasi mendesak pemerintah agar lebih berpihak pada kesejahteraan petani sawit rakyat.

Read More

Ketua Umum POPSI Mansuetus Darto menyampaikan bahwa kehidupan petani sawit masih banyak menghadapi tekanan struktural, mulai dari penguasaan lahan, kebijakan negara yang dinilai tidak adil, hingga pungutan ekspor yang dianggap memberatkan.

“Hingga hari ini, kehidupan petani sawit masih dibelenggu oleh kebijakan negara yang menekan, pengelolaan aset yang tidak adil, serta omon-omon yang tak pernah terwujud,” kata Darto dalam keterangan tertulis, Rabu (24/9).

Menurut dia, reforma agraria sejati adalah mengembalikan tanah kepada petani dan masyarakat adat, bukan melalui skema nasionalisasi oleh negara melalui perusahaan seperti PT Agro Industri Nasional (Agrinas).

“Mengelola sawit sitaan tanpa melibatkan petani kecil tanpa redistribusi tanah sama saja dengan nasionalisasi korporatis, bukan reforma agraria,” ujarnya.

Selain itu, POPSI juga menyoroti pungutan ekspor dan bea keluar yang dinilai membebani petani. Berdasarkan hitungan POPSI, setiap potongan US$50 per metrik ton (MT) menggerus harga tandan buah segar (TBS) sawit sekitar Rp350 per kilogram.

“Dengan potongan US$190 per MT, petani kehilangan sekitar Rp1.500 per kilogram. Harga TBS yang saat ini hanya sekitar Rp3.500 per kilogram, seharusnya bisa mencapai Rp5.000 jika tidak ada pungutan tersebut,” ungkapnya.

Empat tuntutan POPSI kepada pemerintah:

  1. Menghapus pungutan ekspor dan bea keluar yang dinilai mencekik petani.
  2. Menghentikan praktik nasionalisasi sawit melalui Agrinas.
  3. Menyediakan anggaran khusus percepatan sertifikasi ISPO bagi petani.
  4. Menjalankan reforma agraria sejati dengan prinsip “tanah untuk petani”.

Di sisi lain, Ketua Umum APKASINDO Gulat Manurung menyampaikan delapan tuntutan petani sawit kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dengan harapan adanya langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Gulat menekankan pentingnya kepastian hukum terhadap lahan sawit rakyat, termasuk kebun yang berada di kawasan hutan namun telah ditanami sebelum tahun 2020.

“Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) jangan asal memasang plang di kebun sawit rakyat. Ini menimbulkan keresahan sosial dan mengganggu ekonomi keluarga petani,” kata Gulat.

Ia juga mengusulkan pembentukan Badan Sawit Nasional (BSAN) sebagai lembaga yang dapat menyelesaikan tumpang tindih kebijakan antarkementerian dan mengatur pengelolaan sawit secara lebih terintegrasi.

Delapan poin tuntutan APKASINDO:

  1. Mendukung program ketahanan pangan dan energi berbasis sawit.
  2. Memberikan kepastian hukum atas legalitas lahan sawit rakyat.
  3. Mengakui peran strategis petani sawit dalam ekonomi nasional.
  4. Mendorong tata kelola perkebunan sawit yang transparan dan berkelanjutan.
  5. Mengembalikan fungsi Ditjen Perkebunan di Kementerian Pertanian.
  6. Membentuk Badan Sawit Nasional (BSAN).
  7. Mempermudah akses petani ke program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan bantuan sarana prasarana.
  8. Memastikan kemitraan plasma-inti 20 persen dan dukungan petani ke sektor hilir (biodiesel).

Baik POPSI maupun APKASINDO sepakat bahwa peringatan Hari Tani Nasional bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum untuk menagih janji negara kepada para petani.

“Petani sawit tidak butuh retorika, kami butuh keadilan,” kata Mansuetus Darto.

Related posts

Leave a Reply