Peringati May Day, Masyarakat Sipil Galang Solidaritas Melawan Omnibus Law

Ilustrasi - Pekerja perempuan yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi di depan kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Jumat (6/3/2020). (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

JAKARTA, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar menyuarakan penolakan penuh terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja serta menggalang solidaritas antar rakyat dalam menghadapi krisis Covid-19.

Dua hal ini menjadi isu besar dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day lantaran kelas pekerja menjadi korban Covid-19 dan rencana pengesahan omnibus law yang akan menerapkan perbudakan modern di Indonesia demi akumulasi keuntungan investor.

Read More

“Sebelas kluster di dalamnya merupakan senjata yang mematikan bagi buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, pelaut, pers, bahkan tenaga pendidik, dan mahasiswa, apalagi mereka yang rentan karena identitas gender, agama dan ras. Semua gerakan rakyat telah menolak sejak awal. Ini adalah masalah bagi 99 persen warga negara Indonesia bukan hanya kelas pekerja.”

“Kami menilai penundaan klaster ketenagakerjaan merupakan upaya pemerintah dan DPR memecah belah perjuangan rakyat yang selama ini menolak omnibus law,” ungkap juru bicara Gebrak sekaligus Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Ilhamsyah menanggapi perkembangan terakhir dari omnibus law. Gebrak pun mendesak pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan omnibus law di semua klaster.

Hal itu sejalan dengan analisis Sekolah Mahasiswa Progresif (Sempro) yang menilai pemangkasan terhadap hak dasar buruh akan mempersempit akses pendidikan terhadap anak buruh. Selain itu, para mahasiswa dan pelajar yang merupakan calon pekerja juga akan kehilangan kepastian kerja (job security) dan kepastian penghidupan.

Bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia, omnibus law mengancam tanah adat milik mereka. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), aturan ini meningkatkan peluang kriminalisasi masyarakat adat yang berusaha mempertahankan tanahnya dari penguasaan investor.

Sementara itu, berdasarkan analisis Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), omnibus law mengabaikan perlindungan lingkungan hidup yang merugikan masyarakat di sekitar proyek pembangunan infrastruktur. Misalnya, warga sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Celukan Bawang Bali yang kesehatannya terganggu karena polusi udara yang dihasilkan PLTU.

Di sisi lain, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), kejahatan korporasi akan semakin sulit dijerat karena omnibus law meredusir pertanggungjawaban pidana korporasi dan strict liability (pertanggungjawaban mutlak) serta memangkas hak gugat masyarakat.

Adapun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berpendapat omnibus law membuka keran penggusuran paksa di wilayah perkotaan . Perampasan ruang hidup di perkotaan akan semakin massif demi kepentingan investasi sehingga konflik sosial di masyarakat semakin terbuka lebar. Jurang si kaya dan si miskin akan semakin terbuka lebar dengan adanya aturan ini.
Bagi mereka rakyat miskin dari kelompok rentan terutama perempuan, disabilitas dan orang dengan identitas gender dan orientasi seksual minoritas akan semakin terpinggirkan dan tertindas. Menjadi korban terdampak yang berada di lapisan terbawah.

Di sektor pertanian, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), omnibus law akan mempercepat alih fungsi tanah pertanian di Indonesia dengan mengubah UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan demi investasi di proyek-proyek di luar pertanian seperti pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi .

“Dengan begitu, Omnibus Law-RUU Cipta Kerja ini akan memperparah konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Dengan dalih penciptaaan lapangan kerja, pemerintah hendak memberi karpet merah bagi investor asing dan korporasi besar untuk merampas tanah-tanah dan ruang hidup rakyat, lalu mengeksploitasi mereka dengan menjadikan buruh kontrak dan tenaga kerja yang bisa diupah murah”

“Berdasarkan analisis multisektoral itu, Gebrak mendesak pemerintah menghentikan pembahasan omnibus law dan berfokus pada penanganan darurat kesehatan Covid-19. Atasi virus, cabut omnibus!” kata juru bicara Gebrak yang juga Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos. Terlebih, pemerintah dianggap gagal mengatasi dampak sosial-ekonomi akibat krisis Covid-19.

“Banyak buruh di-PHK atau dirumahkan lalu kehilangan tempat tinggal atau dikejar oleh debt collector karena tidak mampu membayar kontrakan atau cicilan. Tidak ada yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah hal ini terjadi selain pemberian Kartu Pra Kerja yang itu pun dicurigai sarat kepentingan. Selain itu, keringangan penangguhan angsuran kredit juga ternyata sulit diakses di lapangan.”

Di tengah kondisi seperti ini, kekuatan solidaritas antarrakyat menjadi hal penting untuk dilakukan baik untuk mengatasi dampak krisis Covid-19 maupun menghadang rencana pembahasan omnibus law. Misalnya, Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria yang digagas Konsorsium Pembaruan Agraria untuk menyalurkan hasil panen para petani di desa kepada masyarakat kota terdampak pandemi Covid-19 seperti kelompok miskin kota, buruh, dan pekerja informal.

“Solidaritas rakyat bantu rakyat kini muncul untuk mengurangi beban hidup yang timbul akibat krisis Covid-19 yang tidak dapat dilakukan oleh negara. Kekuatan solidaritas antarrakyat inilah yang dapat membawa dunia ke dalam perubahan tanpa penindasan,” tutup diadia.

Related posts

Leave a Reply