Penguatan Peran Advokat dalam RUU KUHAP: Langkah Menuju Peradilan yang Berkeadilan

Ilustrasi/Ist

JAKARTA, Pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) semakin menarik perhatian masyarakat, terutama terkait dengan peran Advokat dalam sistem peradilan. Andrea H. Poeloengan, SH, M.Hum, MTCP, Tenaga Profesional Bidang Hukum dan HAM Lemhannas RI, mengungkapkan bahwa dalam RUU KUHAP, peran Advokat harus mendapatkan porsi besar, baik dalam penegasan kedudukan, tugas, tanggung jawab, maupun kewajiban mereka. Ini bertujuan untuk memastikan hak asasi manusia (HAM) terlindungi, proses peradilan berjalan adil dan transparan, serta tercapainya penegakan hukum berbasis keadilan restoratif.

Menurut Andrea, Advokat memiliki peran strategis yang jauh lebih luas dalam sistem peradilan pidana. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penghubung antara sub-sistem peradilan, tetapi juga merupakan bagian integral yang memastikan bahwa setiap individu yang berhadapan dengan hukum mendapatkan pendampingan hukum yang profesional. Advokat juga dapat berperan sebagai mediator dalam mediasi penal, fasilitator dalam keadilan restoratif, dan bahkan sebagai Private Prosecutor (penuntut swasta) dalam kasus-kasus tertentu.

Read More

“Advokat harus dipandang sebagai penegak hukum yang sejajar dengan jaksa, polisi, dan hakim dalam sistem peradilan pidana,” tegas Andrea, yang juga mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI periode 2016-2020.

Andrea menjelaskan bahwa salah satu isu utama dalam pembahasan RUU KUHAP adalah penegasan kembali status Advokat sebagai penegak hukum, sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Andrea mengingatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendampingan hukum saat berpotensi berhadapan dengan hukum. Oleh karena itu, aparat penegak hukum, seperti polisi dan jaksa, harus menyediakan penasihat hukum yang profesional dan berintegritas. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, maka perkara tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Salah satu inovasi yang diusulkan dalam RUU KUHAP adalah pengenalan konsep Private Prosecutor atau penuntut swasta. Konsep ini memungkinkan Advokat bertindak secara independen untuk melaksanakan penuntutan pidana atas nama korban, terutama dalam kasus pelanggaran HAM yang melibatkan institusi negara. Andrea menjelaskan bahwa peran Advokat sebagai Private Prosecutor sangat relevan, terutama ketika lembaga penegak hukum gagal atau enggan bertindak.

Private Prosecutor memberikan alternatif proses peradilan yang lebih fleksibel, yang akan meningkatkan akses keadilan bagi kelompok rentan serta memastikan akuntabilitas institusi negara,” ujarnya.

RUU KUHAP juga mengusulkan pemberian ruang partisipasi yang lebih besar bagi korban dalam proses penuntutan. Selama ini, kepentingan korban sering kali tidak terwakili dalam proses peradilan, karena jaksa lebih berfokus pada kepentingan negara. Andrea menegaskan bahwa Advokat dapat berperan sebagai pendamping korban untuk memastikan hak-hak mereka terlindungi dan didengar dalam proses peradilan.

Beberapa usulan konkret telah diajukan untuk dimasukkan dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU KUHAP. Salah satunya adalah perubahan definisi Advokat dalam Pasal 1 Angka 18 yang menegaskan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri. Selain itu, pasal baru tentang Private Prosecutor juga diusulkan untuk diterapkan dalam RUU KUHAP.

“Revisi terhadap berbagai regulasi seperti UU Polri, UU Kejaksaan, UU Advokat, dan UU Pemasyarakatan juga diperlukan untuk memastikan sinkronisasi antaraturan yang mendukung penguatan peran Advokat dalam sistem peradilan pidana,” ujar Andrea.

Dengan berbagai perubahan yang diusulkan dalam RUU KUHAP, Andrea optimistis bahwa RUU ini akan membawa transformasi signifikan dalam sistem peradilan di Indonesia. Penguatan peran Advokat, menurutnya, tidak hanya akan meningkatkan akses keadilan bagi masyarakat, tetapi juga memperkuat legitimasi institusi hukum di mata publik.

Andrea mengingatkan pentingnya reformasi hukum yang komprehensif dan inklusif, melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa sistem peradilan berpihak pada keadilan dan kebenaran.

“Keadilan bukan sekadar slogan, tetapi komitmen nyata yang harus diwujudkan melalui regulasi yang progresif dan implementasi yang konsisten,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply