Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, hingga pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut
JAKARTA, Mulai dari Bank Dunia hingga Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mengingatkan tentang ancaman resesi 2023 di tengah perekonomian global. Resesi ekonomi tersebut dapat memicu sejumlah dampak yang berisiko bagi kehidupan masyarakat.
Sri Mulyani mengatakan, tingginya jumlah negara di dunia yang menaikkan suku bunga acuan secara ekstrim dan bersama-sama seperti di Amerika Serikat hingga Inggris. Keadaan tersebut memicu terjadinya inflasi sampai resesi.
“Bank dunia sudah menyampaikan kalau bank sentral seluruh dunia melakukan peningkatan suku bunga secara cukup ekstrem dan bersama-sama, maka dunia pasti mengalami resesi di tahun 2023,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTa.
Pengertian Resesi Ekonomi
Melansir laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), secara sederhana, resesi ekonomi adalah kondisi di mana perekonomian negara tengah memburuk. Hal itu dapat terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) negatif, pengangguran meningkat, hingga pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi ekonomi terjadi saat aktivitas ekonomi mengalami penurunan yang signifikan dalam waktu stagnan dan lama, mulai dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Keadaan itu tentu menimbulkan dampak dalam kehidupan bermasyarakat.
Dampak pertama, terjadinya perlambatan ekonomi yang akan membuat sektor riil menahan kapasitas produksinya. Keadaan ini kemudian dapat berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bahkan beberapa perusahaan mungkin menutup dan tidak lagi beroperasi.
Selanjutnya, resesi suatu negara membuat kinerja instrumen investasi juga mengalami penurunan. “Investor cenderung menempatkan dananya pada bentuk investasi yang aman,” demikian keterangan dari OJK.
Terakhir, dampak resesi ekonomi yang paling dekat dengan masyarakat adalah pelemahan daya beli masyarakat. Pasalnya, masyarakat akan menjadi lebih selektif dalam menggunakan uangnya.
Penyebab Resesi
Resesi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari guncangan ekonomi mendadak hingga inflasi yang tidak terkendali. Mengutip Forbes Advisor, guncangan ekonomi mendadak yang menjadi faktor pendorong utama terjadinya resesi dicontohkan dengan terjadinya pandemi COVID-19.
Di samping itu, jumlah utang berlebihan yang ditanggung individu dan bisnis dalam suatu negara juga menjadi penyebab terjadinya resesi. Kemudian, dampak lain juga dapat disebabkan dari gelembung aset yang didorong oleh keputusan emosional dalam berinvestasi.
“Pengambilan keputusan yang irasional menggelembungkan pasar saham atau gelembung real estate. Lalu, ketika gelembung itu meletus, penjualan panik dapat menghancurkan pasar, menyebabkan resesi,” tulis Forbes Advisor.
Terlalu banyak inflasi dan deflasi pada suatu negara juga mendorong terjadinya resesi ekonomi. Inflasi adalah proses meningkatnya harga secara umum dan terus-menerus. Sebaliknya, deflasi adalah penurunan harga dari waktu ke waktu.
“Ketika deflasi menjadi tidak terkendali, orang dan bisnis akan menghentikan pengeluaran, yang melemahkan ekonomi,” demikian penjelasan Forbes.
Di samping itu, sejumlah ekonom dunia khawatir, AI dan robot dapat menyebabkan resesi. Salah satunya, kecanggihan teknologi tersebut dapat menghilangkan sejumlah kategori pekerjaan.
Pada 2023 mendatang, Bank Dunia mencatat, resesi 2023 dipicu keadaan saat bank-bank sentral seluruh dunia secara bersamaan menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap inflasi.
Kenaikan suku bunga tersebut dapat membuat tingkat inflasi inti global, tidak termasuk energi, mencapai sekitar 5 persen pada tahun 2023, kecuali gangguan pasokan dan tekanan pasar tenaga kerja bisa mereda. Angka ini hampir dua kali lipat rata-rata inflasi lima tahun sebelum pandemi.
Di samping naiknya suku bunga, krisis keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang disebut dapat memicu resesi 2023 bertahan lama.
Tanda-tanda Resesi Mulai Terjadi
Sinyal terjadinya resesi pernah dikemukakan oleh salah seorang Ahli Ekonomi Julius Shiskin. Salah satu indikator utama penentu resesi adalah PDB riil atau keseluruhan nilai pasar dari barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian, yang diukur dengan harga konstan atau harga dasar.
Ketika pertumbuhan PDB riil menuju ke arah negatif, hal itu dapat menjadi sinyal terjadinya resesi. Di samping itu, mengutip The Balance Money, Biro Nasional Penelitian Ekonomi (NBER) juga memantau data pendapatan riil hingga kondisi pekerjaan yang bisa dijadikan indikator terjadinya resesi.
“Sinyal paling jelas bahwa resesi sedang berlangsung, kata para ekonom, terjadi peningkatan yang stabil pada tingkat lay-off atau pemutusan kerja dan lonjakan pengangguran,” demikian bunyi keterangannya.