Pengangguran Naik Jadi 7,46 Juta Orang, Industri Manufaktur dan Komoditas Jadi Penyumbang Utama

Ilustrasi antrian orang melamar pekerjaan

JAKARTA, Jumlah pengangguran di Indonesia kembali meningkat dalam enam bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Agustus 2025 jumlah pengangguran mencapai 7,46 juta orang, naik dibanding Februari 2025 yang sebesar 7,28 juta orang. Meski secara tahunan turun tipis dari 7,47 juta orang pada Agustus 2024, tren jangka pendek menunjukkan tekanan di pasar tenaga kerja belum mereda.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pun memperlihatkan pola serupa. Secara tahunan, TPT menurun dari 4,91% pada Agustus 2024 menjadi 4,85% di Agustus 2025. Namun dibanding Februari 2025 yang sebesar 4,76%, tingkat pengangguran justru kembali meningkat.

Read More

Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, mengungkapkan sekitar 58.000 orang atau 0,77% dari total pengangguran kehilangan pekerjaan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Dari jumlah itu, sektor industri pengolahan menyumbang angka tertinggi dengan 22.800 orang, disusul sektor perdagangan sebanyak 9.700 orang, dan pertambangan sekitar 7.700 orang,” kata Edy dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025).

BPS juga mencatat bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia masih didominasi oleh pekerja informal, yaitu 57,80% dari total penduduk yang bekerja. Adapun pekerja formal mencapai 42,20%, naik dari 40,89% pada tahun sebelumnya.

“Proporsi pekerja formal per Agustus 2025 naik menjadi sekitar 42,2% dari total penduduk yang bekerja,” jelas Edy.

Kenaikan tersebut terutama disebabkan bertambahnya jumlah buruh, karyawan, dan pegawai yang meningkat hingga 2,72 juta orang.

Namun, di balik perbaikan di sektor formal, tekanan terhadap pasar kerja masih tinggi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong kenaikan angka pengangguran tahun ini.

“Pertama, tekanan di industri manufaktur membuat lapangan kerja formal makin terbatas,” ujar Bhima.

Ia menjelaskan, melemahnya permintaan ekspor pakaian jadi dan alas kaki, serta rendahnya pertumbuhan konsumsi domestik, menyebabkan ekspansi sektor manufaktur melambat. Padahal sektor ini selama ini menjadi penyerap tenaga kerja terbesar.

Faktor kedua, lanjut Bhima, berasal dari sektor komoditas yang terpukul akibat turunnya harga global dan melambatnya permintaan dari China dan India, terutama untuk komoditas utama seperti batu bara dan nikel.

Selain itu, sektor digital juga terdampak. Banyak perusahaan rintisan (start-up) melakukan efisiensi hingga penutupan usaha karena kekurangan pendanaan, yang turut menekan penyerapan tenaga kerja di bidang informasi dan telekomunikasi.

Bhima mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memanfaatkan bonus demografi. Jika tidak dikelola dengan baik, lonjakan angkatan kerja muda dapat memperburuk angka pengangguran.

“Magang berbayar bisa menjadi jembatan penting agar generasi muda memperoleh pengalaman kerja sekaligus membuka peluang masuk ke sektor formal,” ujarnya.

Dengan tren pengangguran yang kembali meningkat, Bhima menekankan pentingnya kebijakan konkret untuk memperluas kesempatan kerja formal, memperkuat program magang berbayar, serta mempercepat transformasi industri agar lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan ekonomi global.

Related posts

Leave a Reply