JAKARTA, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran di Indonesia mengalami peningkatan pada Februari 2025. Total pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik sebanyak 83.000 orang dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, meskipun realisasi investasi kuartal I-2025 menembus Rp 465,2 triliun.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa pengangguran justru naik di tengah investasi yang tumbuh pesat?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, salah satu penyebab utama adalah stagnasi ekonomi nasional yang diperburuk oleh lemahnya konsumsi masyarakat kelas menengah dan atas.
“Mereka menahan belanja karena khawatir terhadap kondisi eksternal seperti perang dagang dan ancaman resesi global. Akibatnya, uang tidak berputar dan aktivitas ekonomi melemah,” kata Bhima, Senin (5/5/2025).
Bhima menilai peningkatan investasi belum mampu menciptakan lapangan kerja secara optimal karena kualitas investasi yang terus menurun.
Sebagai perbandingan, pada 2020, setiap Rp 1 triliun investasi asing mampu menyerap sekitar 1.300 tenaga kerja. Namun pada 2024, angkanya turun menjadi hanya 1.000 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi.
“Ini penurunan signifikan. Jadi, bukan hanya soal angka investasinya, tapi juga kualitas serapan tenaga kerjanya yang harus diperhatikan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bhima mengkritik arus pengalihan aset ke luar negeri oleh kelompok kaya, yang semakin memperlemah ekonomi domestik. Sektor manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung penciptaan lapangan kerja, juga mengalami tekanan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) di bawah 50, menandakan kontraksi.
Bhima juga menyoroti efisiensi belanja pemerintah yang justru memperburuk keadaan. Alih-alih menjadi stimulus, penghematan anggaran justru berdampak pada gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terutama di sektor akomodasi, perhotelan, dan MICE (Meeting, Incentives, Convention, and Exhibition).
Faktanya, belanja pemerintah tercatat minus 1,38% secara tahunan pada kuartal I-2025. Hingga kini, belum ada paket kebijakan konkret yang bersifat preventif untuk mencegah gelombang PHK massal.
“Yang paling mendesak sekarang adalah mencegah lebih banyak PHK terjadi. Tapi kebijakan yang ada masih terlalu reaktif, belum menyentuh sisi preventif,” tegas Bhima.
Bhima juga mengkritisi langkah pemerintah yang dinilai terburu-buru dalam revisi UU BUMN dan UU TNI, yang justru memberi sinyal negatif ke investor.
“Revisi yang dilakukan tanpa perhitungan matang memperburuk persepsi investor terhadap stabilitas hukum dan kebijakan ekonomi Indonesia,” pungkas Bhima.