SEMARANG, Pengamat hukum dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Muhammad Rustamaji, mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk berhati-hati dan cermat dalam menyusun serta membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Menurutnya, konsep baru dalam RUU KUHAP harus memperhatikan sinkronisasi kewenangan dalam proses integrasi penegakan hukum yang ada di Indonesia.
Rustamaji menjelaskan bahwa salah satu isu yang mengemuka dalam pembahasan RUU KUHAP adalah kemungkinan penghapusan penyelidikan yang tidak diformulasikan secara jelas. Ia menyebutkan bahwa hal ini bisa menimbulkan potensi perubahan besar dalam penegakan hukum, terutama pada tahap awal ketika tindak pidana mulai diketahui.
“Penyelidikan yang tidak diformulasikan dengan baik dapat menyebabkan masyarakat cenderung membawa setiap permasalahan ke jalur hukum, yang pada gilirannya berisiko menciptakan kecanduan terhadap hukum atau ‘addictive to law,’” ujar Rustamaji.
Selama ini, menurut Rustamaji, dugaan tindak pidana sering kali didasarkan pada laporan atau aduan masyarakat. Namun, apabila setiap laporan pidana langsung ditindaklanjuti dengan penyidikan, hal ini dapat menimbulkan masalah terkait kecukupan jumlah penyidik. Rustamaji khawatir bahwa jumlah perkara yang ditangani pada tahap penyidikan akan menjadi terlalu banyak, mengingat tidak sebandingnya rasio jumlah penyidik dengan laporan pidana yang masuk.
Rustamaji juga menyoroti pentingnya perhatian terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dalam penegakan hukum, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. Menurutnya, dalam rumusan RUU KUHAP yang sedang dibahas, upaya paksa tidak disusun secara urut dan tidak mengakomodasi beberapa tindakan penting lain yang membantu penyidik, seperti penyadapan atau penggunaan data intelijen untuk tindak pidana tertentu.
“Pembahasan revisi KUHAP harus dilakukan dengan sangat cermat, mengingat konsekuensinya bagi sistem penegakan hukum di Indonesia,” tambahnya.
Sebelumnya, Komisi III DPR RI telah menggulirkan pembahasan RUU KUHAP pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024–2025. DPR menargetkan agar RUU KUHAP yang baru dapat berlaku bersamaan dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1 Januari 2026. Hal ini didasarkan pada semangat politik hukum yang ingin menyesuaikan filosofi dan tujuan antara KUHAP dan KUHP.
Dengan berbagai pertimbangan yang telah disampaikan, diharapkan pembahasan dan penyusunan RUU KUHAP dapat dilakukan dengan seksama agar dapat memenuhi prinsip keadilan dan efektivitas dalam penegakan hukum di Indonesia.