Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Kurniawati Hastuti Dewi mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga jangan mengabaikan pergerakan dan peran perempuan yang semakin diperluas sejak Reformasi 1998.
“Saat transisi demokrasi terjadi pada Mei 1998, sudah muncul gerakan politik perempuan ‘Suara Ibu Peduli’. Jauh sebelum reformasi pun perempuan sudah banyak mengambil peran,” kata Kurniawati dalam taklimat media yang diadakan di Jakarta, Jumat.
Nia, panggilan akrabnya, menambahkan pada periode 1999 hingga 2004 juga telah muncul gerakan memperjuangkan aksi afirmatif untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada perempuan untuk berperan secara politik maupun di ranah publik.
Gerakan aksi afirmatif tersebut kemudian semakin mengarah pada upaya peningkatan partisipasi politik dan kepemimpinan perempuan yang mendorong perempuan untuk maju menjadi calon anggota legislatif maupun calon kepala daerah.
Karena itu, Nia berharap RUU Ketahanan Keluarga jangan kontraproduktif dengan perkembangan signifikan partisipasi dan kemunculan perempuan politik Indonesia.
“Apalagi, perkembangan itu sudah ke arah pendalaman demokrasi, yaitu perempuan menjadi pemimpin politik di berbagai tingkatan. Perkembangan itu harus didorong untuk menjadi demokrasi yang substansial,” tambahnya.
Di sisi lain, Nia menilai polemik tentang RUU Ketahanan Keluarga yang muncul di masyarakat merupakan wujud pertarungan wacana antara pandangan, terutama keagamaan, yang moderat dan konservatif.
“Pascareformasi, kelompok-kelompok konservatif semakin berani memunculkan wacana di ruang-ruang publik. Hal itu semakin dipermudah dengan keberadaan media sosial,” katanya.