Penulis : Ahmad Sahroni M. Sos
Karawang, Pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu sistem dasar untuk memilih pemimpin publik dan menentukan sistem pemerintahan. Pemilu yang digelar setiap lima tahunan tersebut bertujuan untuk melangsungkan pesta rakyat yakni demokrasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjelaskan arti Pemilihan Umum (Pemilu).
Pemilu adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasilan dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Pesta demokrasi di Indonesia sudah lama terselenggara, pemilu pertama dilakukan pada tahun 1955 dan mengalami berbagai perubahan. hingga di tahun 2019 Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Pemerintah bersepakat untuk melaksanakan pemilu secara serentak di seluruh pelosok tanah air.
Pemilu serentak merupakan sistem pemilihan yang dimana masyarakat memilih secara langsung lima kotak suara, terdiri dari pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat Pusat, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, Anggota Dewan Perwakila Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Daerah.
Bukan tanpa alasan pemerintah melakukan pemilihan serentak semata-mata untuk mengurangi waktu pelaksanaan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui surat putusannya menjelaskan bahwa pemilu serentak dilaksanakan untuk memberikan hak warga negara untuk memilih secara cerdas dan melaksanakan sistem check and balances pada pemerintahan presidensial.
Tak hanya itu, Mahkamah Konstitusi dengan melihat pengalaman pemilu Tahun 2004 mengatakan bahwa pemilu tersebut sarat dengan lobi-lobi atau tawar menawar (bargaining) politik.
Selain itu, pemerintah juga menuturkan bahwa pemilu serentak bisa mengurangi biaya pelaksanaan, berdasarkan perhitungan anggota KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah yang dikutip dari permohonan penyelenggaraan pemilu serentak bisa menghemat anggaran sebanyak Rp5 sampai Rp 10 triliun.
Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan menjabarkan bahwa alokasi anggaran pada tahun 2017 sebanyak Rp465,71 miliar. Sedangkan pada tahun 2018 Rp9,33 triliun. Selanjutnya untuk tahun pelaksanaan 2019 sebesar Rp15,79 triliun. Jadi secara total pemerintah selama tiga tahun pelaksanaan pemilu serentak mencapai Rp25,59 triliun. Anggaran tersebut terbagi menjadi tiga kelompok yakni penyelenggaraan, pengawasan dan kegiatan pendukung seperti keamanan.
Pemilu Serentak 2024
Melihat pemilu serentak 2019 lalu, banyak terjadinya konflik yang terjadi diberbagai sektor baik KPU-Bawaslu, Politik Identitas maupun Petugas KPPS. Membuat, semakin komplek pemilu tersebut diselenggarakan.
Terlebih pada pemilu 2019 banyaknya petugas KPPS yang meninggal dan jatuh sakit, menutut data Kompas.com sebanyak 894 jiwa meninggal dan 5.175 jiwa mengalami sakit. KPU sebagai penyelenggara pemilu harus memperhatikan hal-hal ini untuk mengatasi konflik yang terjadi.
Selain itu, problematika juga muncul dalam penetapan waktu pelaksanaan yang belum selesai dibahas, walaupun awalnya Pemilu dan Pilkada 2024 dijadwalkan pada 21 Februari dan Desember 2024. Akan tetapi, hingga saat ini KPU belum menentukan jadwal pemungutan suara dari pesta demokrasi tersebut.
Beleid terkait Pemilu dan Pilkada dilaksanakan serentak di tahun 2024 tertuang dalam Undang-undang Pemilu No. 7 Tahun 2017 dan Undang-undang No 10 Tahun 16.
Kegiatan Pemilu 2024 melangsungkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota legislatif tinggal pusat, Provinsi dan daerah. Selain itu, pemilihan kepala daerah ditingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sehingga, pemilu dilakukan secara berbarengan di tahun yang sama.
Dengan dilaksanakan pilkada serentak 2024 tersebut secara otomatis terjadi kekosongan pejabat definitif di berbagai daerah, tercatat untuk Pilkada 2022 diikuti 101 daerah terdiri dari 7 Provinsi, 18 Kota, dan 76 Kabupaten. Sedangkan, Pilkada 2023 diikuti 171 daerah mencakup 17 Provinsi, 39 Kota dan 115 Kabupaten.
Sehingga, Kementerian Dalam Negeri musti mengisi kekosongan kepala daerah yang kosong, Jika ditotal sebanyak 216 kursi kepala daerah harus diisi oleh penanggung jawab (PJ) selama dua setengah tahun.
Hal ini mengakibatkan terjadinya polemik diberbagai kalangan, karena banyak yang menganggap bahwa PJ kepala daerah tersebut akan diisi oleh tentara dan polri. Tentu ini menjadi pertanyaan jika tetap terjadi, karena Indonesia kembali pada era orde baru dimana pemimpin daerah di isi oleh Tentara dan Polri.
Selain itu, dengan PJ tersebut telah menghilangkan azas demokrasi di Indonesia, karena pada dasarnya pemilihan pejabat pengganti tersebut tidak dilakukan secara pemilihan, pastinya itu dipilih secara langsung oleh Pemerintah dan Presiden. Betapa beratnya pemerintah mengganti 216 pejabat dengan PJ.
Lobi-lobi politik pasti terjadi antara pemerintah dan PJ. Selain itu, konflik antara pejabat pengganti dengan incumben yang baru menjabat kepala daerah pasti terjadi. Karena pejabat yang baru menjabat hanya diberikan waktu menjabat sekitar dua tahun.
Tentunya terkait PJ ini tidak perlu dilaksanakan, sebaiknya pemerintah tetap melaksanakan Pilkada pada tahun 2023 untuk mengurangi resistensi antar elemen masyarakat. Mengingat Indonesia sedang dilanda konflik politik sara dan identitas yang cukup parah pasca Pemilu dan Pilkada lalu.