Bright Institute mencatat realisasi penerimaan PPh pada 2024 diproyeksikan hanya mencapai 93 persen dari target APBN
JAKARTA, Pemerintah diprediksi bakal mengejar target penerimaan pajak dengan mengimplementasikan Tax Amnesty Jilid III dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada tahun depan. Kebijakan tersebut dinilai para ekonom sebagai langkah yang akan berdampak buruk terhadap reformasi perpajakan dan berisiko menggerus aktivitas ekonomi.
Lembaga riset ekonomi Bright Institute mengungkapkan bahwa penerimaan pajak tahun 2024 kemungkinan besar mengalami shortfall atau tidak mencapai target yang telah ditetapkan. Ekonom Senior Bright Institute, Awalil Rizky, menyatakan bahwa target penerimaan pajak untuk tahun 2025 akan jauh lebih sulit tercapai dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya.
“Berdasarkan realisasi hingga akhir Oktober, penerimaan PPN dan Pajak Penghasilan dipastikan tidak memenuhi target. Bahkan, penerimaan pajak tahun ini hanya akan naik 1,33 persen dari tahun sebelumnya, jauh dari target pemerintah sebesar 3 persen,” kata Awalil dalam sebuah webinar pada Selasa (24/11).
Bright Institute mencatat realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) pada 2024 diproyeksikan hanya mencapai Rp1.060 triliun atau 93 persen dari target APBN. Sedangkan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hanya diperkirakan mencapai Rp763 triliun, atau 94 persen dari target.
Kondisi tersebut membuat pemerintah harus meningkatkan penerimaan pajak setidaknya 11,48 persen pada 2025 agar dapat memenuhi target APBN. Namun, angka ini dianggap tidak realistis tanpa kebijakan yang lebih agresif seperti kenaikan pajak.
“Kebutuhan dana untuk 2025 sangat jauh dari prediksi awal. Pemerintah kini terlihat desperate dengan rencana menaikkan PPN dan kembali menerapkan tax amnesty hanya dua tahun setelah program serupa sebelumnya,” ujar Awalil.
Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen diperkirakan mampu menambah penerimaan sekitar Rp75 triliun atau naik 15 persen dari realisasi 2024. Namun, angka ini masih di bawah target pemerintah yang membutuhkan kenaikan hingga 23,93 persen.
“Menaikkan PPN dapat memperlambat aktivitas ekonomi, sehingga dampak sebenarnya bisa jauh dari harapan pemerintah,” tambah Awalil.
Sementara itu, program Tax Amnesty Jilid III diperkirakan menambah penerimaan sekitar Rp80 triliun. Namun, Bright Institute mengkritik penggunaan tax amnesty sebagai solusi jangka pendek untuk menambah penerimaan negara.
“Tax amnesty seharusnya bertujuan untuk membangun profil wajib pajak yang lebih taat, bukan menjadi solusi instan saat pemerintah kekurangan dana,” tegas Awalil. Ia menilai kebijakan ini justru mengirim sinyal buruk bahwa pengemplang pajak bisa mengharapkan pengampunan di masa depan, merusak kredibilitas sistem perpajakan.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menyebut langkah pemerintah menaikkan pajak dan menjalankan tax amnesty sebagai bukti lemahnya pengelolaan fiskal. Ia juga menyoroti rencana pemerintah untuk menambah utang dalam APBN 2025 sebagai yang terbesar sejak pandemi.
“Kebijakan ini menunjukkan pergeseran besar dari optimisme pemerintah tahun lalu. Kini, pilihan antara menaikkan pajak dan menambah utang sama-sama membawa risiko besar bagi perekonomian,” kata Andri.
Ia menegaskan bahwa penggunaan tax amnesty sebagai solusi sementara justru akan memperburuk situasi di masa depan. “Jika tax amnesty terus diulang, pemerintah kehilangan instrumen reformasi yang lebih kredibel,” pungkasnya.