JAKARTA, Proyek penulisan sejarah resmi Indonesia tengah menuai sorotan publik. Kritik keras datang dari sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Kelompok ini sempat hadir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR RI beberapa waktu lalu, menuduh pemerintah berupaya ‘mencuci dosa masa lalu’.
Menanggapi hal itu, Direktur Sejarah dan Permuseuman Kemenbud, Prof. Agus Mulyana, menyampaikan klarifikasi tegas dalam forum Diskusi Penulisan Sejarah Indonesia 2025 yang digelar di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
“Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada narasi yang menyudutkan penulisan sejarah. Kita belum tetapkan nama resminya, apakah Sejarah Nasional Indonesia, Sejarah Indonesia, atau Tonggak Sejarah Indonesia,” ujar Prof. Agus.
Ia menyebut reaksi keras terhadap proyek ini muncul dari kelompok yang dalam istilah masyarakat NU disebut ‘radikal’.
“Ada yang menolak karena dianggap mencuci dosa-dosa masa lalu. Saya melihat ini sebagai bentuk ketakutan dan kecurigaan. Tuduhan seperti itu adalah bentuk bid’ah sejarah, sesat. Masa kita tidak boleh menulis sejarah di era keterbukaan seperti sekarang?” tegasnya.
Prof. Agus menyayangkan adanya kesan bahwa pemerintah menjadi musuh dalam proyek penulisan sejarah. Ia memastikan, Kementerian tidak bekerja secara tertutup, melainkan terus melakukan sosialisasi ke berbagai kelompok masyarakat.
“Kami datang bukan hanya ke NU saja, tapi ke banyak pihak. Pemerintah berkewajiban menjelaskan bahwa ini proyek ilmiah, bukan politik,” lanjutnya.
Diketahui, proyek besar ini melibatkan sebanyak 113 sejarawan dan arkeolog lintas kampus dan lembaga. Targetnya, naskah final penulisan sejarah resmi Indonesia rampung sebelum 17 Agustus 2025.
“Saya bukan birokrat murni, saya dari kampus. Tentu tidak semua akan puas, tapi ini ikhtiar akademis dalam semangat keterbukaan,” jelas Prof. Agus.
Hadir dalam forum tersebut antara lain Prof. Susanto Zuhdi (Ketua Editor Penulisan Sejarah Indonesia 2025), perwakilan bidang sejarah PBNU, dan akademisi lainnya. Diskusi ini juga disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube TV NU.