PBHI Desak MA Pilih Wakil Ketua Non-Yudisial Bersih, Bukan Hakim Bermasalah

JAKARTA, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mendesak Mahkamah Agung (MA) untuk menjadikan pemilihan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial sebagai langkah awal reformasi menyeluruh. Pemilihan posisi strategis ini dijadwalkan berlangsung hari ini, Rabu (10/9), dan dinilai krusial karena jabatan ini akan mengelola urusan anggaran, pembinaan, operasional, penelitian dan pengembangan, hingga pengawasan internal.

Dalam keterangan tertulisnya, Ketua PBHI Julius Ibrani menekankan bahwa posisi ini tidak layak diisi oleh hakim agung bermasalah, apalagi yang pernah terlibat atau disebut dalam perkara korupsi.

Read More

“Jabatan ini sepatutnya diisi oleh orang–orang bersih. Bukan oleh hakim agung yang kerap dipanggil KPK atau yang memangkas vonis korupsi bahkan membebaskan terdakwa,” ujar Julius, Selasa (9/9).

PBHI mengingatkan bahwa Mahkamah Agung sebagai lembaga hukum tertinggi di Indonesia tidak boleh menjadi sarang korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Julius menyinggung bahwa tuntutan publik terhadap reformasi MA sejalan dengan agenda 17+8, yakni seruan untuk perbaikan menyeluruh di tubuh lembaga peradilan.

“MA tidak bisa dan tidak boleh menjadi tempat berkembang biaknya praktik kotor. Sebagai benteng terakhir keadilan, integritas MA tidak bisa ditawar,” tegas Julius.

Dalam pernyataannya, PBHI juga menyoroti beberapa nama hakim agung yang disebut tidak layak menduduki jabatan Wakil Ketua MA, seperti:

  • Prim Haryadi — Ketua Kamar Pidana MA, disebut pernah diperiksa KPK.

  • Dwiarso Budi Santiarto — Ketua Majelis Kasasi, yang pernah menolak kasasi KPK dan memutus bebas terdakwa korupsi.

PBHI juga mengangkat dugaan praktik makelar kasus di MA, termasuk keterlibatan eks pejabat MA, Zarof Ricar, dalam kasus korupsi yang menyeret perusahaan Gulaku Sugar Company. Diketahui, puluhan miliar rupiah disebut digunakan untuk mengatur putusan di MA.

“Zarof Ricar bahkan mengumpulkan uang setriliun rupiah dan berkilogram emas untuk menyuap berbagai pihak di MA,” ungkap Julius.

Kasus tersebut, kata Julius, hanya satu dari sekian banyak skandal yang mencoreng nama MA dalam waktu kurang dari satu tahun. Ia menyoroti juga penangkapan sejumlah hakim PN Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Surabaya dengan nilai korupsi mencapai ratusan miliar rupiah.

PBHI menegaskan bahwa upaya reformasi di MA harus dimulai dari pemilihan sosok pimpinan yang bersih dan berintegritas. Julius menegaskan, MA sudah terlalu sering menjadi sorotan publik bukan karena prestasi, tetapi karena kasus korupsi yang terus berulang.

“Setidaknya, MA harus mencari pimpinan yang berani, bersih, dan bebas dari rekam jejak kelam. Jika tidak, kepercayaan publik akan benar-benar runtuh,” tutupnya.

Related posts

Leave a Reply