Oleh : Muhammad Fathan Alfikri (GMNI IPB)
Hari ini, tanggal 6 Oktober 2020, tepat satu hari setelah Omnibus Law Cipta Kerja disahkan. Hari dimana awal mimpi buruk akan kerusakan lingkungan akan terjadi. UU ini, pada awalnya digadang-gadang menjadi salah satu pintu investasi, dan peluang terbukanya lapangan pekerjaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
UU ini diproyeksikan akan menjadi daya tarik bagi investor-investor global untuk melakukan aktivitas investasi yang bermuara dan berujung pada pembukaan keran-keran baru ekonomi.
Namun faktanya peresmian UU ini diwarnai berbagai polemik dan diwaranai berbagai konflik horizontal. Gelombang penolakan terjadi di berbagai daerah Indonesia dan dilakukan oleh berbagai elemen, termasuk buruh, environtmentalis yang terdiri dari pegiat ekologi dan pegiat lingkungan, pengamat hukum dan politik, serta mahasiswa.
Bentuk responnya beragam, dan mayoritas mengecam produk UU ini sebagai produk kebijakan yang akan menghancurkan dan mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Justru sangat kontraproduktif dengan apa yang direncanakan oleh DPR Ri dalam master plan UU Omnibus Law ini.
Alih-alih ingin meningkatkan ekonomi dan membuka keran investasi, malah berujung pada pemanfaatan sumber daya alam yang over exploitasi serta memiliki potensi besar akan perusakan lingkungan.
Beberapa contoh proyek strategis nasional dalam bentuk pembangunan pelabuhan dan bandar udara internasional baru seperti Bandara Kertajati, Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA), Pelabuhan Makassar New Port, Pelabuhan Internasional Kuala Tanjung, hingga destinasi wisata baru seperti Labuan Bajo adalah potret terbaikanya pembangunan berkelanjutan serta menghabisi sumber penghidupan petani,nelayan, dan masyarakat sekitar.
Pembanguan beberapa kawasan tersebut diwarnai beberapa konflik.
Apabila ditelaah dalam 905 halaman UU Omnibus Law yang memuat berbagai kebijakan, terdapat pula berbagai pasal yang kontroversial dan tidak pro terhadap lingkungan, diantaranya dimuatnya redaksi Hak Guna Usaha (HGU) 90 tahun, yang berpotensi pada perusakan lingkungan yang lebih lama lagi, serta memicu timbulnya konflik agraria antara pengusaha, perusahaan, dengan masyarakat adat.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatatkan terdapat 659 kasus konflik agraria yang terjadi sepanjang 2017, dan ini merupakan salah satu yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Konflik agraria adalah produk dari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek tidak suportif dari pemerintah maupun perusahaan terhadap buruh, petani, serta masyarakat adat.
Selain dari potensi konflik agraria dan HGU yang secara angka menimbulkan polemik dan kontoversi ada pula peghapusan izin lingkungan dan pelanggarnya hanya dikenai sanksi administratif. Belum lagi perizinan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang dijadikan sebagai syarat sekunder dalam proses perizinan dan hanya ditujukan pada proyek berisiko tinggi saja. Beberapa hal ini sangat berpotensi menimbulkan lokomotif perusakan lingkungan yang baru, karena perusahaan tidak mendapatkan resiko hukuman dan ganti rugi yang sebanding. Dapat ditarik kesimpulan bahwa UU Omnibus Law ini jauh dari kata pro terhadap kelestarian yang berkelanjutan.
Hal ini diperparah dengan dihapusnya UU Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan tidak dimuat secara redaksional dalam UU Omnibus Law. Jelas UU ini hanya akan melanggengkan investasi dan akan mempercepat laju kerusakan lingkungan.
Dari berbagai permasalahan tersebut, penulis pun ingin melayangkan beberapa kritik dan pandangan. Bahwasanya DPR RI beserta Pemerintah Eksekutif tidak melihat permasalahan secara komprehensif dan hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
Saya khawatir justru praktek-praktek kebijakan dan berbagai modifikasi ini akan memperparah, dan membahayakan lingkungan serta keberlanjutan sumber daya alam Indonesia. Pernyataan yang penulis layangkan pun sejalan dengan apa yang dilontarkan beberapa Investor Global akhir-akhir ini, yaitu perihal UU Omnibus Law Cipta Kerja dianggap berisiko melanggar standar praktik terbaik internasional yang ditujukan untuk mencegah konsekuensi berbahaya aktivitas bisnis.
Investor Global yang terdiri dari 35 orang melayangkan surat kepada sejumlah menteri termasuk Menteri Koordinator Bidan Perekonomian serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Maka dari berbagai analisis terhadap permasalahan tersebut, penulis memberikan pernyataan dan saran kepada pemerintah agar mengkaji ulang dan menggagalkan produk kebijakan ini karena tidak memuat narasi perlindungan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan.
Penulis juga menyarankan agar pengkajian UU Omnibus Law ini mengikutsertakan dan melibatkan buruh, petani, masyarakat adat, akademisi agar produk kebijakan yang dihasilkan tidak menimbulkan konflik dan permasalahan yang multi dimensional. Pemerintah yang dalam hal ini adalah Legislatif dan Eksekutif juga dihimbau untuk peduli terhadap masa depan Indonesia dengan menerapkan ekonomi yang berkelanjutan dan pro terhadap rakyat.
Pernyataan Penulis “Ekonomi berkelanjutan dan kelestarian lingkungan perlu untuk kita perjuangkan, karena hal tersebut menjadi investasi jangka panjang untuk generasi yang akan datang, jangan sampai generasi masa depan hanya memanen hasil dari kerusakan alam yang dieksploitasi tanpa tanggung jawab.”