JAKARTA, Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mencapai level terendah dalam sejarah pada hari ini, Senin (7/4/2025). Berdasarkan data yang dihimpun oleh Refinitiv, pada pukul 10:43 WIB, rupiah diperdagangkan di posisi Rp17.261 per US$, sebuah angka yang jauh lebih lemah dibandingkan dengan posisi terakhir pada penutupan pasar reguler sebelum libur Lebaran, yang tercatat pada Rp16.555 per US$.
Pelemahan rupiah ini terjadi di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), sebuah pasar internasional yang memperdagangkan mata uang dengan jangka waktu tertentu. Meskipun pasar NDF tidak ada di Indonesia, instrumen ini sering mempengaruhi sentimen pasar domestik, termasuk pasar spot yang lebih langsung memengaruhi nilai tukar rupiah di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi pelemahan signifikan dalam minggu ini, yang memengaruhi psikologis pasar dan pelaku ekonomi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi melemahnya rupiah adalah kebijakan tarif yang diumumkan oleh Presiden AS, Donald Trump. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenakan tarif resiprokal hingga 32% sebagai imbal balik atas defisit perdagangan AS terhadap Indonesia. Kebijakan ini mengakibatkan barang-barang Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, yang pada gilirannya bisa menurunkan daya saing produk Indonesia di negara tersebut.
Hal ini menyebabkan berkurangnya suplai dolar AS ke Indonesia, yang pada akhirnya menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Seiring dengan ketidakpastian global akibat kebijakan tarif, pasar keuangan Indonesia turut merasakan dampaknya, dengan banyak investor asing yang memilih untuk keluar dari pasar.
Radhika Rao, Ekonom Senior Bank DBS, mengatakan bahwa kebijakan tarif AS terhadap Indonesia telah mempengaruhi selera risiko pasar. Sebelumnya, faktor domestik juga telah memberikan tekanan pada rupiah, yang diperburuk dengan ketidakpastian global akibat kebijakan tarif tinggi tersebut.
Sementara itu, Hirofumi Suzuki, Chief FX Strategist di Sumitomo Mitsui Banking Corporation (SMBC), mengungkapkan bahwa depresiasi rupiah lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, bukan kesalahan kebijakan dari Bank Indonesia (BI). “Kekhawatiran terhadap melambatnya ekonomi global semakin meningkat, menyebabkan depresiasi rupiah,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan CNBC Indonesia. Ia menekankan pentingnya sikap hati-hati yang perlu diambil oleh Bank Indonesia dan otoritas moneter untuk memantau situasi pasar secara cermat.
Menanggapi kebijakan tarif AS, Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi dan diplomasi untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan bagi kedua negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa Indonesia sedang menyusun rencana aksi untuk merespons kebijakan tarif tersebut dengan memperhatikan kepentingan jangka panjang dalam hubungan perdagangan dan stabilitas ekonomi nasional.
“Indonesia diberikan waktu sangat singkat untuk merespons, yaitu hingga 9 April. Kami sedang mempersiapkan rencana aksi yang melibatkan berbagai aspek, termasuk impor dan investasi dari AS,” ujar Airlangga dalam Rapat Koordinasi Terbatas pada (7/4).
Bank Indonesia (BI) juga terus memonitor perkembangan pasar keuangan global dan domestik pasca-pengumuman kebijakan tarif AS. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa bank sentral terus melakukan intervensi di pasar valuta asing melalui instrumen triple intervention (transaksi spot, DNDF, serta Surat Berharga Negara/SBN di pasar sekunder) untuk menjaga kecukupan likuiditas dan stabilitas nilai tukar rupiah.
“BI berkomitmen untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan mendukung perekonomian domestik dengan langkah-langkah yang tepat, terutama di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat,” tambah Ramdan.