Narkoba Ancam Bonus Demografi Indonesia

Data BNN mencatat, hingga 2018 tercatat sebanyak 1,7 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, diduga merupakan pengguna narkoba. Artinya, berdasarkan prevalensinya, ada sebanyak 3,3 juta penduduk yang diduga sebagai pengguna narkoba.

NARKOTIKA dan obat-obatan terlarang atau biasa disingkat sebagai narkoba merupakan momok bagi suatu bangsa, termasuk Indonesia. “Virus setan”, begitu julukan bagi narkoba. Bukan tanpa sebab jika predikat “virus setan” disematkan.

Lantaran dari tiap gram narkoba yang beredar serta dikonsumsi pemakainya, selain akan memberikan efek ketagihan, juga secara perlahan melumpuhkan jaringan vital syaraf dan pelemahan kerja organ tubuh pemakainya. Ujungnya bisa ditebak, ancaman kematian pun dapat terjadi karena efek sadis dari “virus setan” itu.

Uniknya, narkoba sejak masa 2000 tahun lalu telah digunakan oleh bangsa Sumerta sebagai bagian dari pengobatan untuk memberikan efek menenangkan bagi penderita sakit. Bahan dasarnya adalah serbuk sari bunga opium atau kerap disebut candu, adalah obat penenang pertama kali yang diciptakan bangsa Sumerta sebagai penghilang rasa sakit. Ahli medis, filsuf sekelas Hippocrates, Plinus, Theophratus, dan Dioscorides pun menggunakan candu sebagai bahan pengobatan, terutama ketika melakukan pembedahan. Tindakan serupa dalam dosis tertentu, masih digunakan oleh pegiat medis di Tanah Air untuk tindak pengobatan dan pembedahan.

Namun, narkotika yang sejatinya dipakai di dunia medis sebagai alternatif pengobatan untuk menimbulkan efek tenang, justru dijungkirbalikkan di tangan para produsen narkoba demi meraup keuntungan berlipat-lipat.

Sudah tak terbilang lagi berapa banyak cerita suram dari peredaran narkoba, mulai dari melibatkan produsen kelas pinggiran yang hanya meraciknya dari bahan-bahan ala kadarnya, semisal obat nyamuk bakar yang dihaluskan kemudian dicampur bahan kimia sehingga menimbulkan efek halusinasi, hingga kelas pabrikan yang sanggup memproduksi jutaan butir narkoba per harinya yang tentunya bisa merusak jutaan pemakainya.

Masih belum tuntasnya perang terhadap narkoba yang dilakukan oleh pemerintah, bisa menjadi ancaman terhadap bonus besar demografi yang akan dinikmati Indonesia pada 2045 nanti. Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas memperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada 2045 mencapai 321 juta jiwa. Adapun jumlah penduduk dengan usia produktif 15-64 tahun, termasuk di 15-45 tahun diperkirakan mencapai 209 juta jiwa atau 70 persen dari total penduduk.

Mereka yang berada pada rentang usia di atas akan menjadi mayoritas pada angkatan kerja dan menjadi motor penggerak terbesar perekonomian di saat Jepang, China dan Uni Eropa justru menghadapi dilema berkurangnya penduduk usia produktif. “Namun ancaman yang dihadapi adalah penyalahgunaan narkoba.

Narkoba akan sangat mudah menghancurkan generasi muda sekarang yang seharusnya kelak menjadi pemimpin bangsa. Oleh karena itu, untuk memastikan usia produktif tidak terjerumus, perlu diadakan kampanye pencegahan lebih intensif. Harus semakin banyak keteladanan dan contoh dari kelompok usia muda produktif yang berhasil. Kampanye pencegahan itu juga bertujuan membangun karakter bangsa pada generasi muda mengingat tren pengguna narkoba pada 2018,” kata Kepala Badan Narkotika Nasional, Heru Winarko di Jakarta, Selasa (12/3/2019).

Menurut Heru Winarko, pengguna narkoba pada tahun 2018 meningkat dibanding tahun 2017 menjadi 2,1 persen. Pada tahun 2017, pengguna narkoba sebanyak 1,77 persen yang mayoritasnya adalah para pekerja. Namun kondisi ini berubah pada tahun 2018, di mana mayoritas pengguna adalah generasi muda, para pelajar atau mahasiswa.

Jika gambaran pada tahun 2018 jumlah pengguna narkoba adalah generasi muda, masih menurut Heru Winarko, sangat dikhawatirkan pada tahun 2045 pada saat Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan, Indonesia menghadapi masalah kepemimpinan yang berkualitas karena mayoritas dari jumlah pengguna narkoba saat ini adalah generasi muda.

Oleh karenanya, Generasi muda perlu dibangunkan jati diri bangsanya dan ini menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan termasuk BNN, orang tua, pendidik, masyarakat, pemerintah serta aparat penegak hukum.
“Harus ada kampanye terus menerus dan berkesinambungan dengan tone positif kepada generasi muda sejak sekarang Generasi muda membutuhkan pendampingan, keteladanan, komitmen dan membutuhkan rambu yang jelas untuk bisa bebas dari ancaman narkoba,” kata jenderal polisi bintang tiga ini.

Data BNN mencatat, hingga 2018 tercatat sebanyak 1,7 persen dari total penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, diduga merupakan pengguna narkoba. Artinya, berdasarkan prevalensinya, ada sebanyak 3,3 juta penduduk yang diduga sebagai pengguna narkoba.

Beruntungnya, dari jumlah tersebut, sebanyak 13.263 pengguna berhasil direhabilitasi. Sayangnya, angka pengguna yang mampu direhabilitasi itu tidak beranjak jauh dari “prestasi” di 2017 ketika ada sebanyak 13.302 pengguna yang sukses direhabilitasi. Angka-angka tadi tentunya belum layak disebut sebagai sebuah pencapaian, meski untuk bisa melakukan tindakan rehabilitasi melibatkan belasan ribu pengguna bukanlah perkara mudah. Jika melihat target yang dibebankan Presiden Joko Widodo agar ada 100 ribu pengguna yang bisa direhabilitasi tiap tahun, tentu saja BNN harus kerja lebih keras.

Belum lagi bagaimana tingkah polah para produsen kelas pabrikan, bahkan tidak sedikit yang merupakan bagian dari jaringan kelas dunia asal Belanda, Rusia, Tiongkok, dan Malaysia, yang telah menjadikan negeri ini sebagai pasar empuk peredaran narkoba. Mereka seperti mempermainkan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup yang menunggu di depan mata jika tertangkap pihak berwajib.

Kementerian Hukum dan HAM mencatat, sepanjang tahun 2018 terdapat 914 kasus narkoba berhasil diungkap oleh berbagai instansi pemerintahan, mulai dari BNN, Kepolisian, TNI, Direktorat Jenderal Bea Cukai hingga Kejaksaan Agung. Sebanyak 1.355 orang dengan tingkatan sebagai pemakai, pengedar, bandar, hingga produsen telah ditetapkan sebagai tersangka. Belasan ton barang bukti narkoba dan psikotropika dari berbagai jenis berhasil disita dan dimusnahkan.

BNN menyebutkan, dari 800 jenis narkoba baru yang beredar di seluruh dunia saat ini, sebanyak 71 jenis di antaranya telah masuk dan dikonsumsi oleh masyarakat dalam berbagai tingkatan penggunaan dan dari bermacam strata sosial dan tingkatan umur. Jika sekadar menyebut posisi, sejumlah oknum pejabat tinggi negara bahkan dengan stempel sebagai koruptor juga terbukti ikut mengonsumsi narkoba. Tak terhitung pula sejumlah figur publik yang tersangkut “virus setan”.

Mirisnya lagi, mengutip data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, diketahui bahwa terdapat 1,6 juta anak, mereka di rentang usia bawah 18 tahun, dipekerjakan sebagai kurir ataupun menjadi pemakai narkoba. Dalam kasus pengungkapan narkoba oleh BNN Provinsi Sulawesi Selatan pada 2018, dari 68 pemakai narkoba anak yang berhasil direhabilitasi, seorang di antaranya bahkan baru berusia 9 tahun!

Pengawasan terhadap jalur-jalur tikus bagi masuknya narkoba asal luar negeri pun makin diperketat, termasuk mengawasi pelabuhan-pelabuhan kecil di wilayah perbatasan perairan, dan perbatasan darat antarnegara. Pencapaian terbaik yang dilakukan pihak berwenang pada 2018 adalah ketika dalam waktu hampir bersamaan, TNI Angkatan Laut, Kepolisian dan Ditjen Bea Cukai pada Februari 2018 mengungkap penyelundupan hampir 3 ton narkoba jenis sabu dari jaringan internasional lintas negara asal Tiongkok, Taiwan, Malaysia, Thailand dan Singapura yang mencoba masuk perairan Indonesia di sekitar Teluk Phillips, Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau memakai kapal penangkap ikan berbendera Singapura. Pengungkapan kasus peredaran narkoba hampir 3 ton senilai Rp7 triliun menjadi sejarah dalam perang melawan narkoba. BNN memperkirakan, dengan asumsi 1 gram sabu bisa dikonsumsi bersama oleh 5 pengguna, maka pengungkapan kasus ini mampu menyelamatkan 15 juta anak bangsa dari pengaruh “virus setan” tersebut.

Sesungguhnya, Indonesia bukanlah satu-satunya negara di dunia yang menyatakan perang terhadap narkoba. Presiden Filipina Rodrigo Duterte bahkan dalam pidato pelantikannya di Manila, medio Juni 2016, memerintahkan rakyatnya untuk menghabisi para bandar narkoba tanpa pandang bulu. Duterte juga memberi mandat kepads pasukan khusus angkatan bersenjatanya untuk membunuh para raja obat bius dan narkoba yang selama ini seperti tidak tersentuh tangan penegak hukum. Jauh sebelum itu, Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon, pada 1970 menjadi presiden pertama di dunia yang secara terbuka menyatakan perang terhadap heroin (war on heroin).

Masih maraknya peredaran narkoba di Tanah Air selain disebabkan masih lemahnya penetapan vonis maksimal bagi pengedar dan bandar, juga minimnya pengawasan terhadap ruang gerak bandar narkoba yang sudah dijebloskan dibalik jeruji besi lembaga pemasyarakatan (lapas).
Terbukti, dari sejumlah pengungkapan kasus narkoba, aparat berwajib kerap menemukan pengakuan para tersangka pemakai dan pengedar, bahwa narkoba yang mereka dapatkan itu dikendalikan oleh bandar besar mereka dari balik terali besi penjara dengan perantaraan telepon seluler (ponsel) yang diselundupkan ke sel tahanan atau memanfaatkan jasa sipir penjara untuk berkomunikasi dengan pihak luar.

Pengakuan dari seorang pengedar berinisial PHS yang dicokok aparat Kepolisian Sektor Tanah Abang, Jakarta Pusat pada 19 Februari 2019 dengan barang bukti 100 gram lebih narkoba jenis sabu, menyebutkan bahwa narkoba yang ia edarkan, dikendalikan oleh bandar besar yang masih mendekam di jeruji besi Lapas Salemba. “Saya diperintahkan bandar untuk mengedarkan narkoba jenis sabu lewat ponsel. Si bandar adalah narapidana di Lapas Salemba,” begitu pengakuan PHS kepada wartawan.

Pemerintah melalui Ditjen Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkum HAM tengah mengambil langkah progresif dalam memberantas narkoba, baik itu di lapas dan rutan.
Pemberantasan narkoba memang tengah difokuskan terhadap lapas dan rutan yang disinyalir dihuni oleh narapidana pengendali transaksi narkoba.
“Ini merupakan tindak lanjut atas koordinasi dengan BNN mengenai peredaran narkoba yang dikendalikan dalam rutan dan lapas sebelumnya, juga lanjutan rapat konsolidasi dengan seluruh kepala divisi PAS mengenai langkah ini,” ujar Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami dalam siaran persnya, Senin (4/2/2019).
Teaser
Tidak ada toleransi bagi petugas penjara yang kedapatan memberi ponsel bagi napi. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Sri Puguh Budi Utami
Menurut dia, harus ada langkah progresif dalam memberantas narkoba di lapas dan rutan. Fokus prioritas pada lapas rutan yang ditengarai terdapat peredaran narkoba, bahkan disinyalir ada narapidana sebagai pengendali.
Sebagai langkah progresif, kata dia, pimpinan tinggi pratama Ditjen PAS akan memberikan pendampingan dengan matriks kerja yang jelas. Pendampingan yang dilakukan oleh jajaran pimpinan tinggi pratama tersebut memiliki tenggat waktu, target dan pelaksana pendampingan yang jelas, sehingga target dapat dicapai dalam kurun waktu yang cepat.
Hal ini menyusul adanya laporan pengendalian narkoba yang berasal dari dalam lapas dan rutan dengan menggunakan alat komunikasi. Maka dari itu, kata dia, harus disepakati dan sukarela menghentikan peredaran ponsel di dalam lapas dan rutan, karena ponsel menjadi alat komunikasi transaksi narkoba dengan jaringan di luar penjara.
Sri Puguh menegaskan, tidak ada toleransi bagi petugas penjara yang kedapatan memberi ponsel bagi napi, utamanya napi dengan pengawasan khusus sekelas bandar besar narkoba.
Hal itu dikatakannya berdasarkan laporan dari BNN melalui kelengkapan dan kewenangannya untuk melakukan penyadapan dan mendeteksi modulasi komunikasi narapidana/tahanan melalui han. “Pemangku jabatan tertinggi di UPT Pemasyarakatan juga harus menjadi teladan dan memastikan tidak ada keterlibatan dalam pemanfaatan keuntungan,” ujar dia.

Related posts

Leave a Reply