Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyambut baik “resistensi” atau kritik yang membangun atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, bukan yang tidak memberikan solusi.
“Menurut saya dari sisi pemerintahan kalau tidak ada resistensi sama sekali itu artinya anda tidak melakukan tugas anda. Kalau kita ingin melakukan perubahan di semua bidang di Indonesia harus dilakukan perubahan yang drastis,” kata Mendikbud Nadiem ketika menjadi pembicara di Indonesia Data and Economic Conference 2020 di Jakarta, Kamis.
Tidak ada bidang pemerintahan, kata mantan bos GoJek itu, yang tidak perlu melakukan lompatan untuk mengejar kemajuan.
Kalau tidak ada resistensi maka perubahan yang ingin dilakukan oleh pemerintah tidak cukup besar atau cukup berdampak bagi kemajuan masyarakat.
Mendikbud Nadiem melihat resistensi yang konstruktif sebagai hal yang positif. Dia menyebut resisten tipe ini adalah kritik yang membantu pemangku kepentingan menyadari risiko-risiko dari kebijakan mereka.
Mendikbud mengambil contoh dari kebijakan Kampus Merdeka yang baru-baru dia deklarasikan.
Bagaimana kritik yang dilontarkan berhasil membuat Kemendikbud mengidentifikasi permasalahan biaya bagi mahasiswa kurang mampu untuk pergi ke daerah lain melakukan magang atau proyek desa.
“Di satu sisi ada juga resistensi yang tidak produktif. Itu hal-hal yang sifatnya hanya meng-highlight risiko tanpa memberikan solusi. Nyinyir tapi bawaannya lebih emosi dan biasanya karena tidak nyaman dengan perubahan,” kata Nadiem.
Kritik tidak membangun itu, kata Mendikbud, biasanya memiliki asumsi bahwa kondisi pendidikan Indonesia saat ini sudah lumayan. Asumsi yang berbahaya, kata Nadiem.
Padahal, tegas dia, pendidikan Indonesia membutuhkan lompatan drastis untuk bisa mengatakan pembelajaran terjadi di ruang kelas. (ant)