PEMILIHAN Umum 2019 yang merupakan pesta demokrasi lima tahunan akan menjadi momentum istimewa bagi bangsa ini. Ada beberapa hal mengapa disebut istimewa.
Pertama, mengenai waktu pelaksanaan pemungutan suara yang akan menggabungkan pemilihan untuk calon anggota legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) sehingga pemilu kali ini kerap disebut sebagai pemilu serentak.
Penggabungan proses pemilihan dalam satu hari yang bersamaan akan berdampak pada jumlah kertas suara yang akan diterima pemilih dari petugas pemungutan suara (PPS). Ada lima kertas yang bakal dibawa pemilih menuju bilik suara.
Agar tidak membingungkan, maka Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan kegunaan tiap kertas suara diikuti pembedaan berdasarkan warna kertas. Kertas suara warna hijau untuk mencoblos caleg DPRD kabupaten/kota, kertas suara warna biru caleg DPRD provinsi, kertas suara warna kuning untuk caleg DPR RI, dan kertas suara warna merah untuk DPD RI. Sedangkan kertas suara abu-abu untuk memilih presiden dan wakilnya.
Kemudian penggunaan kotak suara dari bahan karton dan tidak lagi dari bahan aluminium. Bahkan tidak pula dari bahan kayu seperti digunakan pada pemilu pertama 1955 hingga awal 1990-an. Bahan karton selain lebih hemat biaya, juga ramah lingkungan dan lebih ringan.
Pemilu serentak 2019 juga menghadirkan tempat pemungutan suara (TPS) yang lebih banyak dibandingkan lima tahun lalu. Jika Pemilu 2014 terdapat 545.803 unit TPS dibangun untuk melayani 190 juta pemilih, maka pada Pemilu 2019 ada 805.695 unit TPS yang disiapkan untuk menampung 187,7 juta pemilih. Pemerintah pun berharap tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 meningkat hingga 77,5 persen atau harus lebih baik dari pencapaian 2014 yang berada di kisaran 75,1 persen.
Keistimewaan lainnya adalah munculnya sekitar 40 juta pemilih pemula usia 17-25 tahun dari kalangan pelajar, mahasiswa, santri dan pekerja muda yang baru pada 2019 ini menggunakan hak pilihnya. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan Pemilu 2014 dimana ada sekitar 20 juta pemilih pemula di rentang usia 17-25 tahun.
Meski begitu, untuk menghadirkan pesta demokrasi serentak ini, negara mesti menyisihkan anggaran hingga Rp24,8 triliun untuk pelaksanaannya, meningkat jika disandingkan dengan biaya Pemilu 2014 yang memakan anggaran tak lebih dari Rp18,9 triliun untuk menggelar dua kali pemilu.
Meningkatnya tingkat kerawanan keamanan, terutama yang berkaitan dengan penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan ancaman gangguan keamanan lainnya termasuk serangan siber membuat anggaran pengamanan ikut naik. Jika pada Pemilu 2014, anggaran pengamanan sekitar Rp1,89 triliun, maka pada Pemilu 2019 menjadi Rp3,2 triliun dan melibatkan sebanyak 453.133 prajurit TNI dan Polri untuk mengamankan Pemilu 2019. Ini semua dilakukan demi terciptanya pemilu yang damai dan aman bagi masyarakat.
Pertama, mengenai waktu pelaksanaan pemungutan suara yang akan menggabungkan pemilihan untuk calon anggota legislatif (pileg) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) sehingga pemilu kali ini kerap disebut sebagai pemilu serentak.
Penggabungan proses pemilihan dalam satu hari yang bersamaan akan berdampak pada jumlah kertas suara yang akan diterima pemilih dari petugas pemungutan suara (PPS). Ada lima kertas yang bakal dibawa pemilih menuju bilik suara.
Agar tidak membingungkan, maka Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan kegunaan tiap kertas suara diikuti pembedaan berdasarkan warna kertas. Kertas suara warna hijau untuk mencoblos caleg DPRD kabupaten/kota, kertas suara warna biru caleg DPRD provinsi, kertas suara warna kuning untuk caleg DPR RI, dan kertas suara warna merah untuk DPD RI. Sedangkan kertas suara abu-abu untuk memilih presiden dan wakilnya.
Kemudian penggunaan kotak suara dari bahan karton dan tidak lagi dari bahan aluminium. Bahkan tidak pula dari bahan kayu seperti digunakan pada pemilu pertama 1955 hingga awal 1990-an. Bahan karton selain lebih hemat biaya, juga ramah lingkungan dan lebih ringan.
Pemilu serentak 2019 juga menghadirkan tempat pemungutan suara (TPS) yang lebih banyak dibandingkan lima tahun lalu. Jika Pemilu 2014 terdapat 545.803 unit TPS dibangun untuk melayani 190 juta pemilih, maka pada Pemilu 2019 ada 805.695 unit TPS yang disiapkan untuk menampung 187,7 juta pemilih. Pemerintah pun berharap tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 meningkat hingga 77,5 persen atau harus lebih baik dari pencapaian 2014 yang berada di kisaran 75,1 persen.
Keistimewaan lainnya adalah munculnya sekitar 40 juta pemilih pemula usia 17-25 tahun dari kalangan pelajar, mahasiswa, santri dan pekerja muda yang baru pada 2019 ini menggunakan hak pilihnya. Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan Pemilu 2014 dimana ada sekitar 20 juta pemilih pemula di rentang usia 17-25 tahun.
Meski begitu, untuk menghadirkan pesta demokrasi serentak ini, negara mesti menyisihkan anggaran hingga Rp24,8 triliun untuk pelaksanaannya, meningkat jika disandingkan dengan biaya Pemilu 2014 yang memakan anggaran tak lebih dari Rp18,9 triliun untuk menggelar dua kali pemilu.
Meningkatnya tingkat kerawanan keamanan, terutama yang berkaitan dengan penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan ancaman gangguan keamanan lainnya termasuk serangan siber membuat anggaran pengamanan ikut naik. Jika pada Pemilu 2014, anggaran pengamanan sekitar Rp1,89 triliun, maka pada Pemilu 2019 menjadi Rp3,2 triliun dan melibatkan sebanyak 453.133 prajurit TNI dan Polri untuk mengamankan Pemilu 2019. Ini semua dilakukan demi terciptanya pemilu yang damai dan aman bagi masyarakat.