Mercy Barends Kritik Keras Penulisan Sejarah Ulang yang Minim Transparansi

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends saat ditanya awak media di Kompleks Parlemen, Senin (19/5)/Ist

JAKARTA, Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends, mengkritik keras proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang dinilai tidak transparan dan minim partisipasi publik.

Ia menyebut Komisi X DPR RI bahkan tidak menerima dokumen resmi apapun dari Kementerian Kebudayaan, meski kabarnya buku sejarah tersebut akan dirilis pada 17 Agustus 2025.

Read More

“Proses ini sudah cukup jauh, tapi informasi yang kami dapat justru hanya dari berita. Tidak ada satu pun dokumen resmi yang masuk ke Komisi X,” tegas Mercy, sapaan akrabnya, kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senin (19/5/2025).

Menurut Legislator dari PDI Perjuangan ini, penulisan sejarah nasional adalah proses besar dan sakral yang tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Ia menegaskan, sejarah bangsa harus ditulis dengan jujur, transparan, dan berlandaskan moralitas tinggi, karena akan menjadi bahan ajar bagi generasi muda di seluruh Indonesia.

Mercy menyampaikan keprihatinannya jika memang sejarah ditulis hanya dari perspektif kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia bukan hanya milik satu rezim atau satu narasi tunggal, tetapi merupakan akumulasi pengalaman rakyat dari Sabang sampai Merauke.

“Sejarah tidak boleh hanya ditulis dari satu arah saja. Narasi-narasi daerah yang selama ini tertutup seperti konflik Maluku, Papua, DOM di Aceh, darurat militer dan darurat sipil, itu juga bagian dari sejarah kita,” ujarnya.

Ia menyoroti pula bahwa penulisan sejarah seharusnya lahir dari proses partisipatif, bukan sekadar permintaan pemerintah kepada akademisi. “Betul ada 100 akademisi yang dilibatkan, tapi kan permintaan itu berasal dari pemerintah. Kita harus pastikan bahwa prosesnya genuine, bukan instruksi kekuasaan,” ungkap Mercy.

Ia juga mengungkapkan bahwa sejauh ini tidak ada komunikasi formal maupun informal dari pihak pemerintah kepada DPR, khususnya Komisi X yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan.

“Rapat-rapat terakhir pun tidak membahas ini. Komisi X justru merasa tercengang karena tidak pernah mendapatkan kejelasan sejak awal,” jelasnya.

Dalam rapat tersebut, Komisi X memutuskan untuk segera menindaklanjuti isu ini dengan mengundang pihak Kementerian terkait guna meminta klarifikasi resmi atas proses dan isi penulisan sejarah tersebut.

Mercy menekankan bahwa sejarah adalah warisan kolektif bangsa dan harus ditulis secara terbuka dan bertanggung jawab.

“Kalau sejak awal ada niat baik dan transparansi, tentu penolakan dari publik tidak akan sebesar ini. Yang dipersoalkan bukan hanya isi sejarah, tetapi cara dan proses penyusunannya yang tertutup,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengajak semua pihak untuk membicarakan ulang proyek penulisan sejarah nasional ini dengan melibatkan seluruh komponen bangsa, termasuk narasi dari akar rumput yang selama ini terpinggirkan.

“Sejarah ini akan dikonsumsi oleh seluruh peserta didik di Indonesia Raya. Kita wajib pastikan bahwa sejarah ditulis secara otentik, objektif, dan adil bagi semua suara bangsa,” tutup Mercy.

sebelumnya, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Senin (19/5) melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek ambisius penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia yang saat ini dikerjakan oleh Kementerian Kebudayaan.

Aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, tokoh masyarakat, dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu, menilai program yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan menutup peluang diskusi tentang masa lalu bangsa secara demokratis.

Related posts

Leave a Reply