JAKARTA, Pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengenai keberadaan sebuah bandara di kawasan pertambangan Morowali, Sulawesi Tengah, memicu perhatian nasional. Menhan menilai absennya kehadiran negara di bandara tersebut sebagai anomali yang dapat mengancam kedaulatan ekonomi. Sorotan itu disampaikan usai peninjauan Latihan Terintegrasi 2025 TNI di Morowali, Kamis (20/11/2025).
Sebagaimana dilansir situs resmi Kementerian Pertahanan (Kemhan), bandara tersebut berada dekat jalur strategis Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan III. Peninjauan dilakukan pada 19 November dalam kapasitas Sjafrie sebagai Ketua Harian Dewan Pertahanan Nasional (DPN) dan Pengawas Tim Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Di lokasi, TNI menggelar simulasi menghadapi black flight atau pesawat yang memasuki wilayah udara tanpa izin.
Sehari setelahnya, dilakukan unjuk kekuatan militer berupa operasi perebutan dan pengamanan pangkalan udara oleh Yonko 466 Korpasgat serta pasukan Yonif 432 dan 433 Brigif Para Raider 3/TBS Kostrad, didukung KRI Bung Hatta—370 dan KRI Panah-625 dalam operasi maritim.
Menhan Sjafrie menegaskan bahwa anomali regulasi membuka kerawanan terhadap kedaulatan ekonomi dan tidak boleh dibiarkan. Ia menyatakan negara tidak akan berhenti menindak aktivitas ilegal yang merugikan kekayaan nasional.
“Republik ini tidak boleh ada republik di dalam republik. Kita harus tegakkan semua ketentuan tanpa melihat latar belakang dari manapun asalnya,” ujarnya.
Sjafrie memastikan seluruh temuan di Morowali akan dilaporkan kepada Presiden.
Kepala Biro Informasi Pertahanan (Karo Infohan) Setjen Kemhan, Kolonel Arm Rico Ricardo Sirait, menyebut pernyataan Menhan harus dipahami sebagai peringatan mengenai pentingnya kehadiran negara di objek vital.
“Intinya perhatian tersebut muncul dari evaluasi umum. Pengawasan negara di titik strategis harus tetap kuat,” kata Rico kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2025).
Ia mengingatkan bahwa absennya pengawasan negara di bandara dapat membuka ruang aktivitas tidak tercatat, meskipun penilaian risiko lebih rinci masih menunggu koordinasi lintas kementerian.
Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai mustahil ada bandara yang benar-benar tertutup atau beroperasi tanpa sepengetahuan negara. Ia menegaskan seluruh bandara — termasuk Bandara Morowali yang berstatus bandara khusus — tetap berada dalam pengawasan pemerintah sesuai regulasi.
“Tidak ada kategori bandara tertutup. Semua bandara tetap diawasi dan wajib memenuhi ketentuan,” ujarnya.
Alvin menjelaskan bahwa prosedur izin penerbangan domestik maupun asing sangat ketat, termasuk security clearance dari Kemhan, Kemlu, dan Kemenhub serta flight approval. Menurutnya, sistem berlapis membuat “penerbangan gelap” nyaris mustahil. “Jika sampai terjadi penerbangan gelap, berarti semua instansi berhasil dibobol,” ujarnya.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menyatakan pihaknya akan meninjau langsung bandara khusus di Morowali setelah masa reses. Ia telah meminta penjelasan awal dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara.
“Operasional bandara khusus tetap harus memenuhi ketentuan. Saya sepakat harus ada unsur perangkat negara di sana,” katanya.
Lasarus menyebut bahwa pesawat domestik maupun asing yang masuk ke bandara khusus tetap memerlukan izin terbang, slot time, dan clearance lintas kementerian. Ia menganalogikan bandara khusus dengan terminal khusus di pelabuhan yang wajib memiliki unsur negara melalui KSOP.
“Kami akan cek langsung. Kalau sama sekali tidak ada pejabat negara di sana, jaminannya apa? Sejauh apa kemampuan kita mendeteksi potensi risiko?” ujarnya.







