Penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
KABAR gembira untuk penghayat kepercayaan di republik ini. Keberadaan mereka kini diakui secara sah oleh negara dalam kolom agama di selembar Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el). Ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 29 Ayat (2). Penghayat kepercayaan juga telah diakui dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, yaitu UU Nomor. 23 Tahun 2006 dan Undang – Undang Nomor. 24 Tahun 2013.
Dalam Pasal 61 dan Pasal 64 secara tegas dinyatakan bahwa bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama atau bagi penghayat kepercayaan, elemen datanya tidak dicantumkan dalam kolom KTP-el atau Kartu Keluarga (KK), tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.
Namun, ketentuan Pasal 61 dan Pasal 64 ini kemudian dianulir atau dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XIV/2016 tanggal 18 Oktober 2017 yang selanjutnya ditindaklanjuti melalui Permendagri Nomor. 118 Tahun 2017 tentang Blangko KK, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan seluruh permohonan para pemohon dari penghayat kepercayaan terkait pencantuman kolom kepercayaan dalam dokumen kependudukan, termasuk KTP-el dan KK.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hanya menindaklanjuti Putusan MK dengan menerapkan kebijakan pencantuman kolom kepercayaan di KTP-el dan KK, karena putusan MK adalah final dan mengikat
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal itu diatur dalam pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.
Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016. Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Hal hasil putusan MK tersebut disambut banyak pujian dari masyarakat penghayat di samping rasa bahagia para pemohon karena dengan adanya putusan ini maka jaminan perlindungan hukum bagi mereka semakin kuat.
Mengutip pemberitaan media online, www.detik.com, awal Maret 2019, Sekretaris Tuntunan Agung Sapta Darma, Bambang, mengatakan bahwa keputusan ini adalah angin segar bagi para penghayat semuanya setelah berpuluh-puluh tahun tidak mendapatkan haknya. Kalangan penghayat selama ini menjadi terpinggirkan karena dianggap tidak memiliki agama bahkan ada yang dianggap komunis.
Selain itu, banyak diskriminasi lainnya yang telah dirasakan oleh penghayat kepercayaan akibat perlindungan hukum yang tidak konsisten. Seperti kesulitan dalam membuat akta atau dokumen tertentu bagi anak-anak mereka karena perkawinan mereka dengan menggunakan adat kepercayaan mereka tidak diakui oleh Pemerintah.