Memberi Semangat Pada Tanjung Panjang

GORONTALO, Matahari baru saja muncul pagi itu. Kuning merekah, cahayanya menerpa air yang berpetak-petak. Perahu-perahu berjejer di dekat pematang. Perahu itu milik petambak yang kemarin baru saja memanen ikan bandeng. Sejauh mata menjelajah yang terekam adalah hamparan tambak, akar pohon bakau yang telah lapuk, burung-burung yang melintas, serta tutupan hijau yang tersisa di beberapa titik.

Kawasan ini sejatinya adalah hutan mangrove yang membentang sepanjang pesisir laut di Kabupaten Pohuwato, namun yang berstatus Cagar Alam hanya 3.174,10 hektare. Menteri Kehutanan menetapkan Tanjung Panjang sebagai Cagar Alam pada tahun 1984. Tetapi status tersebut tidak cukup untuk melindungi Tanjung Panjang dari kerusakan.

Bukan rahasia lagi bahwa Cagar Alam Tanjung Panjang (CATP) sedang dalam masa kegelapan. Ada suka di sana, tetapi lebih banyak dukanya. Sukanya karena banyak petambak yang meraup untung dari hasil budidaya ikan dan udang.

Dukanya karena hutan mangrove kini berubah fungsi menjadi tambak. Pohon bakau ditebang, dibiarkan tak berdaya hingga ke akar-akarnya. Pembiaran yang terjadi bertahun-tahun. Data Jaringan Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) menyebutkan luas mangrove yang tersisa di Tanjung Panjang hanya 689 hektare.

Itu berarti CATP telah kehilangan 80 persen hutan, berikut kekayaan hayatinya. Pada Maret 2019, Japesda bersama pihak lain yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan CATP menyurati Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Aliansi menolak CATP masuk dalam penetapan Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk Penyediaan Sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) Revisi-II. Aliansi menyatakan penyelesaian penguasaan lahan di kawasan tersebut sampai sekarang belum tuntas dan mekanisme TORA bukan langkah yang tepat.

Bahkan penguasaan lahan terkesan dibiarkan dan tidak ada kejelasan status, karena sebagian besar telah dialihfungsikan sebagai tambak bandeng dan udang. CATP meliputi empat desa di Kecamatan Randangan, yaitu Desa Siduwonge, Patuhu, Palambane, dan Desa Limbula.

Direktur Japesda Nurain Lapolo mengatakan penguasaan kawasan bukan oleh masyarakat adat (indigenous people) dan masyarakat lokal, namun didominasi oleh para pendatang dari luar Provinsi Gorontalo yang terjadi setelah penetapan kawasan. “Selain itu, adanya ketimpangan penguasaan lahan, misalnya ada orang yang menguasai 10 hektar bahkan sampai 250 hektar,” ungkapnya.

Semangat baru

Pada 8-9 Februari 2020, sekelompok siswa SMAN I Randangan bersama pegiat lingkungan berjalan menyusuri pematang tambak di Desa Siduwonge. Tak peduli sengatan matahari, mereka tampak antusias bergantian menggunakan binokuler. Beberapa burung yang mencari makan menjadi target pengamatan.

Siswa kemudian mencocokkan ciri-ciri burung yang diamati, lalu dibandingkan dengan gambar di dalam buku identifikasi burung. Mereka dipandu oleh dua anggota Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), yakni Hanom Bashari dan Dany Rogi. Keduanya adalah pengamat burung dan spesialis keragaman hayati.

“Yang itu burung Trinil Kaki Hijau,” kata Hanom saat beberapa siswa mencoba menebak-nebak jenis burung. Sehari sebelumnya, siswa tersebut belajar di kelas tentang manfaat ekosistem mangrove serta cara menggunakan monokuler dan binokuler. Praktiknya langsung di cagar alam yang letaknya sekitar lima kilometer dari SMAN I Randangan.

BIOTA merupakan perkumpulan yang peduli pada keragaman hayati. Selain rutin mendata dan mengamati burung di Danau Limboto, BIOTA kini menyumbang perhatian pada CATP. Dalam tiga kali pengamatan di CATP, BIOTA mencatat 28 jenis burung di kawasan penting itu.

Sebagian adalah jenis burung bermigrasi, misalnya Gajahan Penggala (Numenius phaeopus) dan Gajahan Timur (Numenius madagascariencis) “Teramati hampir seratus individu burung Gajahan Penggala. Artinya Tanjung Panjang menjadi habitat penting yang harus dilindungi,” ungkap Dany Rogi.

Usai mengamati burung, siswa kemudian bersiap menanam bibit mangrove di areal luar tambak. Pegiat lingkungan dari Desa Torosiaje Umar Pasandre membekali siswa dengan pengetahuan tentang jenis bakau dan cara menanamnya. “Tidak ada pekerjaan yang sia-sia, walaupun hanya dengan menanam satu pohon bakau,” kata Umar yang berpengalaman menanam ribuan pohon mangrove.

Kegiatan tersebut merupakan bagian dari perayaan Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day (WWD) 2020, yang digagas bersama Wetlands International Indonesia dan didukung oleh Japesda dan BKSDA. Menanam mangrove dan menanamkan kesadaran lingkungan adalah cara nyata untuk memulai pemulihan kawasan tersebut.

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia telah rutin dilaksanakan di seluruh dunia, mengacu pada perjanjian perlindungan lahan basah yang ditandatangani pada tanggal 2 Februari 1971. Indonesia telah ikut meratifikasi Konvensi Lahan Basah Internasional sejak tahun 1991.

Setiap tahun perayaan dilaksanakan dengan mengambil tema yang berbeda. Tema untuk tahun 2020 adalah “Lahan Basah dan Keanekaragaman Hayati”, yang dikaitkan dengan lahan basah untuk pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim Lahan basah meliputi daerah-daerah rawa payau, mangrove, lahan gambut, dan perairan baik alami atau buatan, termasuk di dalamnya adalah danau, sungai, waduk, sawah dan tambak.

Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, seperti sumber air minum dan habitat beragam makhluk hidup. Lahan ini juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengurangan risiko bencana, pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global.

“Lahan basah juga merupakan kawasan yang kaya dengan karakteristik nilai dan fungsinya, namun juga merupakan sebuah kawasan yang sangat peka dan rentan terhadap perubahan,” kata Susan Lusiana, Koordinator Pelaksana World Wetlands Day dari Yayasan Lahan Basah/Wetlands International Indonesia.

Global Wetland Outlook (2018) menyebutkan bahwa 40 persen dari total spesies di dunia hidup dan berkembang biak di lahan basah. Namun, di sisi lain sejak tahun 1970-an sejumlah spesies yang hidupnya bergantung pada lahan basah terus menurun populasinya, yaitu 81 persen spesies daratan dan 36 persen spesies pesisir dan laut.

Meski demikian belum terlambat menyelamatkan Cagar Alam Tanjung Panjang dari kepunahan. Pepatah bijak mengatakan “Apakah jika pohon terakhir akan ditebang, dan mata air terakhir berhenti mengalir, baru saat itulah manusia sadar bahwa uang tidak dapat dimakan dan diminum”.

Related posts

Leave a Reply