Kalau Anda berjalan masuk ke dalam stasiun Moda Raya Terpadu (MRT), sebelum menuju peron atau pintu berkarcis, bayangkan, itulah besarnya Internet yang biasa dipakai. Facebook, Google, Wikipedia, e-commerce, dan seluruh sosial media ada di sini. Namun ini hanya area permukaan. Permukaan Internet.
Turun ke dalam tempat naik Moda Raya Transportasi tersebut, kita temukan: jaringan, rel, terowongan, jembatan serta interseksi, itulah perbandingan luas internet antara yang sering dan lazim dipakai, dan luas sesungguhnya. Nama area itu adalah internet bagian dalam, sebagian menyebut internet gelap atau dark web.
Luasnya 7,5 petabite, 20 kali lipat dari server Facebook, Google, dan Microsoft jika digabung. Untuk menambahkan bahan imajinasi, jumlah pengguna Facebook 2,4 miliar manusia.
Apa saja isi dark web? Sebagian data-data internal perusahaan atau lembaga. Namun sebagian besar isi dark web adalah barang-barang pasar gelap paling besar di dunia.
Anda bisa temukan mulai dari, pertama, data pergerakan seseorang (kemana dia pergi, di mana dia makan, berapa yang dihabiskan di tempat dia berhenti). Itu biasanya dibeli untuk keperluan force information, untuk perusahaan pemasang iklan; atau di level lebih mengerikan untuk melakukan perbuatan jahat langsung seperti penipuan identitas, perampokan dan pencurian.
Kedua, ginjal, dan organ tubuh untuk transplantasi. Dan, ketiga adalah senjata, virus, bahkan perdagangan manusia.
Siapapun bisa masuk ke dark web dengan browser TOR. Cara kerjanya adalah memantulkan alamat pengguna ke lebih dari tiga lokasi agar pengguna merasa aman.
Contohnya, saya ingin beli data seseorang. Maka saya pergi menuju sebuah situs di dark web, alamat saya tidak bisa dilacak, karena browser TOR membuat saya — yang di Meruya — dipantulkan ke Praha, kemudian ke Reyjavik, ke Wuhan, ke Colorado. Kemudian saya membayar dengan crypto currency atau satuan mata uang digital. Gampang bukan?
Kini saya dapat sebuah data tanpa terlacak siapa dan di mana saya berada. Saya tinggal menelepon kartu kredit dan bank tempat sasaran saya menaruh uangnya, kemudian meminta cetak ulang kartu korban, dan seterusnya. Kemudian memakai uangnya. Ini versi canggih, istilahnya versi Ghost Protocol.
Pencuri pada kasus Ilham Bintang sepertinya, mempunyai niat seperti ini, namun dalam perjalanannya tidak rapih, kurang pintar, kurang wawasan. Pelaku dapat ditangkap cepat. Tapi bagaimana bila pencuri berbasis dark web di masa depan yang beraksi?
Pertanyaan itu dengan singkat bisa saya jawab di level paling bawah, misalnya produk ponsel asal Amerika dengan layanan komputasi awan yang dapat mengintegrasikan seluruh data dari waktu ke waktu. Namun sekali nomor Anda dikuasai, selesai.
Di mana bedanya dengan Android? Android membuka layanannya dengan penuh di Indonesia, membuat pengaduan hal-hal pencurian identitas bisa direspons cepat.
Ingat, setelah kasus pembobolan rekening Ilham Bintang, seluruh provider mengatakan mereka mengevaluasi SOP (standard operating procedure) penggantian kartu, namun deep web bisa menjual topeng wajah Anda seperti film Mission Imposibble (dari Face ID iPhone Anda), menjual sarung silicon fingerprint (dari Touch ID iPhone Anda).
Nah empuklah sasaran kejahatan di atas di Indonesia. Dan terkonfirmasi Ilham Bintang memakai ponsel tersebut saat rekeningnya dibobol. Dan layanan komputasi awan menjadi pintu masuk utama kejahatan yang dialaminya.
Sedangkan orang kaya berwawasan teknologi memakai Android buatan Korea terbaru. Sekarang, pilih mana?