Martin Soroti Kejanggalan Kematian Brigadir Nurhadi, Desak Bareskrim Ungkap Fakta dan Tegakkan Keadilan

Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra, Martin Tumbelaka/Dok Pri

JAKARTA, Anggota Komisi III DPR RI, Martin D. Tumbelaka, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus kematian Brigadir Nurhadi di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat (NTB). Martin mendesak Bareskrim Polri agar penyidikan dilakukan secara transparan, profesional, dan bebas dari intervensi.

Dalam keterangannya pada Minggu (13/7), Martin mengungkap sejumlah indikasi pelanggaran prosedur dalam penanganan awal oleh Polda NTB. Salah satu temuan krusial adalah dugaan intimidasi terhadap tenaga medis di klinik pertama yang menangani korban. Seorang dokter disebut dipaksa oleh tersangka agar tidak mendokumentasikan luka-luka yang ada pada tubuh Brigadir Nurhadi.

Read More

“Autopsi terhadap jenazah baru dilakukan beberapa hari setelah kematian, ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai upaya menghilangkan bukti,” ujar Martin.

Martin juga menyinggung beredarnya video yang menunjukkan Nurhadi masih hidup sebelum akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Padahal, laporan awal menyebut korban meninggal akibat tenggelam. Fakta ini memperkuat dugaan adanya ketidaksesuaian kronologi kejadian.

Temuan luka kekerasan berat seperti patah tulang hyoid, indikasi kuat adanya cekikan, serta trauma tumpul di beberapa bagian tubuh turut memperkuat dugaan pembunuhan berencana. Martin mendesak agar penyidik membuka seluruh hasil autopsi dan bukti forensik secara transparan.

Menurut Martin, terdapat dugaan rekayasa dalam penerapan pasal oleh penyidik. Awalnya, kasus ini hanya dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian, namun kini Bareskrim telah merekomendasikan tambahan pasal, yaitu Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana) dan Pasal 351 KUHP (penganiayaan berat).

“Beredar juga informasi mengenai dugaan penggunaan narkoba oleh korban maupun para tersangka. Kami mendesak agar hasil tes toksikologi diumumkan secara terbuka,” tegas politisi Fraksi Gerindra itu.

Hingga kini, penyidik telah menetapkan tiga tersangka, yaitu dua atasan Nurhadi: Kompol IMY dan Ipda HC, serta seorang wanita berinisial MPS yang disebut sebagai wanita sewaan. MPS saat ini mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan telah menyatakan diri sebagai justice collaborator.

Martin menilai pentingnya mempertimbangkan peran MPS sebagai saksi mahkota guna mengungkap konstruksi peristiwa secara utuh.

Untuk menjamin objektivitas, Martin mendorong agar Komnas HAM melakukan audit penyidikan secara independen. Ia juga menegaskan bahwa Komisi III DPR RI akan mengawal ketat kasus ini hingga proses peradilan.

“Kami menuntut transparansi penuh, termasuk rekaman tempat kejadian perkara (TKP), laporan autopsi, dan keterangan para saksi. Percepatan penyidikan bersama Bareskrim dan Kejaksaan Agung juga penting agar tidak terjadi konflik kepentingan,” tuturnya.

Martin mengingatkan bahwa kasus ini bukan hanya soal keadilan hukum, tetapi juga menyangkut hak dan perlindungan bagi keluarga almarhum Brigadir Nurhadi, terutama istri dan dua anaknya.

Related posts

Leave a Reply